Monday 25 August 2014

Hold On


Selalu ada yang berbeda di pagi tanggal 26. Selalu ada harapan baru. Selalu merapal doa agar kian bersatu. Iya; denganmu. 

Sembilan bulan yang lalu. Tanggal 26 hari itu. Bulan November telah jadi milikku. Ingatkah ketika itu kau duduk di sebelahku. Mengajakku untuk saling menelanjangi perasaan satu dengan yang lainnya. Aku berdebar waktu itu. Jantung tak karuan. Aku rasa kau pun begitu. Aku mengucapkan selamat datang kepadamu pencuri hatiku. Lelaki sederhana dan pandai sekali mengundang tawa. Ada ruang dalam diriku yang dengan senang hati bersedia menerimamu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mengertimu nanti. Iya, ketika kelak kau telah menjadi milikku. Saat itu tak tau harus kupasang mimik muka yang seperti apa lagi padamu. Aku gugup. Lidahku kelu. Jantungku berdegup.

Kau tentu tahu bagaimana aku waktu itu. Aku pun sangat tahu bagaiman kau waktu itu. Dengan mukamu yang meurutku kau juga gugup berhadapan denganku. Kau mulai berbicara apa maksudmu mengajakku duduk di sebelahmu. Iya, sejak saat itu kau telah mejadi milikku dan aku pun menjadi milikmu.

"Selamat Datang cinta, jadikan aku tempat terakhirmu berlabuh. Jadikan aku tempatmu mengungkapkan bahagia dan duka."

Iya, begitulah cara hatiku menyapa hatimu yang sekarang telah menjadi satu denganku. Aku berjanji akan senatiasa bersama dalam keadaan apapun. Bersamamu.

Selamat mengulang kembali tanggal 26.
Tetaplah menggandeng tanganku untuk tangal 26 berikutnya dan seterusnya.

Kediri. 26/08/2014
Persembahan Untukmu; lelaki terhebatku.

Monday 18 August 2014

Rindu Sendu


Ini tentang rinduku yang semakin hari menumpuk sendu.

Hallo, apa kabar Tuan?
Hallo, apakah rindumu masih membaik?
Hallo, Tuan... Kau dengar aku?
Halo... Haloo.. haloooooooo?

Tut.. tut... tut..

Sambungannya terputus. 

Ku usap keringat yang menetes pada pelipis kiriku. Jangan berfikir aku baru saja berlari atau olahraga. Bukan. Aku baru saja bertarung dengan obat bius dan para kurcaci berbaju hijau. Selang infus dan sprei yang berantakan karena penolakanku untuk dicengkeram para tangan kurcaci itu. Aku berusaha lari, tidak ingin pemasungan ini terjadi.

Aku berhasil berlari. Menjauh dari mereka semua. Bersembunyi di balik tembok besar sebuah koridor dan di samping kamar bertuliskan Bougenvil 03. Aku lemas. Rasanya lututku sudah tak mampu lagi menopang tubuh besarku. Aku ambruk. Aku kais telepon genggam yang ada pada saku baju khas bau obat ini. Dengan mata yang selebar gambaran garis ini, aku mencoba menghubungi seseorang. Iya; seseorang yang mungkin dan aku rasa dia sangat mau untuk membawaku bersenang-senang dalam deras derai hujan. Aku menekan sebuah nomor bertuliskan nama 'Kekasihku'. Tersambung. Tawaku mengembang lebar. 

Panggilan pertama tak mendapat respon darinya.

Kucoba dengan menekan kembali nomor itu. Panggilan kedua mengalami pengacuhan.

Masih saja aku membandel dengan menekan panggilan ketiga. Panggilan ketiga mengalami pengabaian.

Berkali kali aku mencoba. Sudah 20 kali aku menekan nomor yang sama. Rasanya ingin menagis sekencang-kencangnya. Tapi, aku takut para kurcaci pembawa obat dan jarum suntik itu mengetahui keberadaanku. Kucoba berdiri mencari tempat sembunyi yang lebih menepi. Aku berjalan sempoyongan.

Bruuuuaaaaaaakkkkkkk !

Aku menabrak seseorang. Tidak! Ini pasti para kurcaci itu. Tamatlah riwayatku. Aku berlari semampuku. Orang itu mengejarku. Kali ini dia sendiri. Tidak bersama pasukannya. Aku berhenti. Aku mencoba menyerah. Sudah. Aku pasrah.

Orang itu memelukku dari belakang. Tuhan, sungguh Engkau Maha Baik. Ternyata dia kekasihku. Digendongnya aku menuju entah tempat apa ini. Aku hanya melihat sebuah ruang bersudut empat yang hanya diisi dengan tempat tidur berwarna putih bersih dan sebuah meja kecil beserta sebuah pigora berisi potret kami.

"Kamu akan aman di sini" Katanya sembari merebahkan tubuhku di pembaringan berbau harum ini.

Senyumku kembali mengembang. Aku memeluknya. Dibenamkan pula kepalaku di dadanya. Aku merasa sungguh sangat aman dan nyaman. Aku tenang. Sungguh lelaki ini begitu tahu bagaimana memperlakukan aku. Diciumnya keningku. Kembali kerekatkan tubuhku pada sebuah pelukan terhangat yang pertama aku rasakan. Lelakiku.

Tiba-tiba seseorang menarikku. Memaksaku untuk melepas pelukannya. Aku memeberontak. Orang itu tetap saja menarikku. Dan berkata: 

"Adek! Sudah shubuh, ayo sholat dulu"

Oh. Ternyata aku hanya bermimpi. Itu suara Ibuku.

Iya, beginilah aku. Rinduku sudah teramat tebal. Sehingga aku sering kehilangan nyenyakku karena waktu tidurpun aku tetap merindumu.

Kediri, 19 Agustus 2014


Saturday 16 August 2014

Rindu

Rindu ini merongrong lagi
Bergelayut manja dalam sepi
Sudah pula kupasang topeng berhias belati
Oh... Rindu tenanglah sedikit, mengerti?

Aku bukan pula anganku
Merajut asa dalam hias lembayung yang merona
Mengapa belum jua kutemui temu yang nyata?
Rinduku mengganas jua

1 bulan 2 bulan 3 bulan
Belum jua hitungan jam dan hari yang lainnya
Aku semakin ringkih
Menanti tanggal dan jam yang berputar

Rinduku berteriak
"Pasang topengmu... Pasang topengmu..!!!"
Tak jua kupedulikan teriakan itu
Aku menutup telingaku
Merubah asaku, merebah badanku...lesu

Rinduku... Entah bagaimana dirimu. Aku yakin kau juga mengharapku.

Kediri, 17 Agustus 2014
Rindu