Tuesday 14 October 2014

Retaknya Cermin Itu


begini retaknya !

Kamu tentu tahu bagaimana mudahnya memecahkan cermin. Dipukul; ditendang; dilempar dengan batu; dipukul dengan kayu dan sebagainya. 

Berbeda dengan cerminku. Aku menjaganya, dengan sangat hati-hati. Aku membingkainya, seperti potret diriku waktu masih suci (bayi). Aku senantiasa memberishkannya, seperti aku ketika mandi dan bersuci. Segalanya kulalkukan dengan hati. Segalanya kulakukan dengan ikhlas diri. Tentu tanpa paksaan. 

Aku sengaja meletakkannya dekat dengan potret diri kita. Foto kita bersama, ketika kita berbagi senja berdua. Senyummu dan senyumku bercumbu jadi satu. Kebahagiaan tergambar jelas dibalik tatapan mata kita dalam potret itu. 

Tentu kau juga tahu bagaimana proses pemuain pada kaca, bukan?. Iya, sekarang cerminku mengalaminya.  Aku kebingungan. Harus kuapakan karena toh ini proses alam. Sungguh aku tak ingin menggantinya. Sedikitpun. Secuilpun. Bagaimanapun sudah lama aku menantikan dan akhirnya diberi kesempatan untuk menjaga cermin ini. 

Kali ini hampir dari separuh dari cermin ini retak. Padahal aku telah berusaha menjaganya. Merekatkan banyak selotip pada setiap bagiannya yang retak. Hingga kini seluruh bagian itu akan tertutup banyak selotip. Aku takut. Bagaimana jika cermin ini sudah tak bisa menampilkan wajahku. Bagaimana jika cermin ini berganti dengan yang baru?. Aku sungguh tak menginginkan hal ini terjadi. 

Karena aku sangat menyayangi cermin itu. Berapa banyak bagian pun yang retak, aku tetap tak ingin menggantinya. 

Surabaya, 14 Oktober 2014

Tuesday 30 September 2014

Berpagutan Dengan Malam


Kali ini apa yang akan kau cumbui
Kali ini dingin terhpus gigil
Kali ini aku bersembunyi di bawah sunyi
Tanpa kata; dengan makna

Kau mulai memagut
Lenganku menggelayut
Tubuhku kau timpuh
Beradu peluh

Kakiku mengepang di tengah kakimu
Tanganku melingkar di leher jenjangmu
 Tubuhku goyah; bergejolak dalam lantunan lenguhku
Kau merengkuh

Mencoba kembali menemui keesokannya
Mencoba kembali bercumbu pada dinginmu
Oh... Malam, kau begitu dahsyat
Menghadirkan kisah

Surabaya, 30 September 2014

Thursday 25 September 2014

Sepuluh bulan.

Seperti apa kau menafsir sepi?
Seperti dingin yang hilang dalam gigil
Seperti apa kau menafsir mimpi?
Seperti tawa yang ada ketika kau bangun pagi

Dan malam hanya bersetubuh dengan hening
Seperti lilin-lilin yang leleh dalam batang
Dan itu ketika kau belum bersamaku
Ketika aku tanpa hadirmu

Sepuluh bulan

Kini bagaimana kau menafsir rindu
Mungkin seperti empedu beraroma madu
Beradu,
Kalah
Dan lelah
Lelah; saat gelisah dalam rebah

Sepuluh bulan itu

Kini bagaimana kau menaruhkan hidupmu
Ketika aku telah terbiasa dengan hadirmu
Ketika aku tak mampu melepas gandengan tanganmu
Aku telah satu denganmu

Sepuluh bulan itu, kini,nanti dan selamanya
Berjanjilah,tak akan melepas gandengan tanganku

Surabaya, 26 September 2014
"Sepuluh bulan itu"







Wednesday 24 September 2014

SAYA JENGAH !

Ini semester terberat selama saya kuliah. Entah, karena apa dan siapa. Bukan tentang hilangnya penyemangat. Bukan pula tentang uang kuliah yang harus saya bayar tiap semesternya. Ini tentang metamorfosa mental yang biasa saya gadang-gadangkan dan saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya.

Ini juga hal yang cukup membingungkan dalam perjalanan akademik saya. Bukan tentang IPK yang turun. Bukan tentang kurang aktifnya saya di kelas. Bukan. Sekali lagi ini tentang metamorfosa mental yang sedang saya alami.

Saya menyerah. Bukan pula karena saya terlalu payah. Namun saya sudah jengah. Saya lelah. Harus berjalan pada satu garis lurus yang ditentukan oleh yang maha "pengurus". Saya ingin jalan saya sendiri. Sudah saya coba untuk mengintrospeksi diri saya sendiri. Mendiamkan diri pada kungkungan emosi yang membebani. 

Ternyata tetap salah juga. Kesini salah, kesana juga salah. Berhenti salah, berjalan lebih salah. Tersenyum aku jengah, cemberut jadi masalah. Apalah, entahlah. SAYA JENGAH !

Surabaya, 25 September 2014
Sedang dalam proses metamorfosa mental

Monday 22 September 2014

Halo Kamar Mandi

Sebagai manusia tidak banyak yang saya tahu. Iya. Ini salah satunya, saya tidak mengetahui apa yang saya inginkan sekarang. Saya bukan orang yang pandai berterus terang kepada siapapun. Saya bukan orang yang terbuka dengan keadaan saya sebenarnya. Bagaimana tidak, ketika saya ingin sekali terbuka dengan orang yang menurut saya bisa dipercaya. Saya justru mengatahui busuknya. 
 
Seperti hari ini, saya enggan sekali membuka mulut. Lebih banyak diam. Memilih mendengarkan pembicaraan. Saya mungkin telah kehilangan sebagian dari sejatinya saya. Ini mungkin yang dinamakan metamorfosa mental. Sungguh, rasanya tidak pernah seperti ini saya sebelumnya.

Segala hal yang membingungkan telah menimpa saya. Mengoyak dan membabat habis pikran saya. Ini belum pernah terjadi dengan saya (sebelumnya). Saya merasa jatuh tersungkur lalu bangkit lagi, jatuh lagi dan bangkit lagi. Begitu seterusnya. Saya pusing.

Belum lagi tentang masalah hidung saya. Yang akhir-akhir ini sering sekali mengeluarkan darah yang entah darimana dan apa penyebabnya. Dokter bilang saya hanya kelelahan. Namun lelah yang bagimana yang membuat saya amat sangat ringkih seperti ini. Bukankah jika manusia yang lelah, istirahatlah obatnya?. Ini tidak demikian dengan hidung saya. Entahlah.

Darah itu keluar lagi siang ini. Tepat ketika kaki kanan saya menginjak ubin di kamar kos saya. Segera saya berlalri menuju kamar mandi yang tepat berada di depan saya. Segera saya tundukkan kepala. Mencoba 'meladeni' cairan berwarna merah kehitaman tersebut. Sungguh, airmata mana lagi yang harus saya keluarkan untuk menangisi ini. Sementara disini, saya hanya sendiri. Saya membutuhkan pundak atau setidaknya lengan untuk membantu saya mengusap cairan itu.
 
Bukan hanya sekali saya menyapa kamar mandi ini. Ini sudah ketiga kalinya. Saya lelah. Saya selalu mengucapkan "Halo Kamar Mandi" dalam hati ketika saya menyinggahkan kaki saya kembali kesini lagi dalam rentan waktu yang tidak cukup lama.
 
Tuhan, saya lelah. Bukan maksud saya ingin menyerah. Namun ini semua dikarenakan saya terlalu payah. Iya; saya tak mampu menggubah. 
 
Surabaya, 22 September 2014
"Halo Kamar Mandi
"

Saturday 20 September 2014

Menciumi Senja

Genggaman itu. Abadi sepanjang waktu.
Sudah pernah terjadi sebelumnya. Menciumi senja berdua. Denganmu saja. Merengkuh asa dalam balutan nirwana yang sedang menggelora dalam dua jiwa. Sore ini terjadi lagi. Aku menemukan kehangatannya lagi. Bukan tentang bara api yang membakar. Bukan tentang es batu yang membekukan. Tapi tentang berbagi senja yang menjingga. Berdua.

Kamu datang tanpa memberitahuku. Kamu datang dengan muka menggemaskan. Rasanya ingin sekali kupeluk segera. Namun fikiranku masih 'waras'. Aku sadar ini bukan tempatnya.Ini sudahpukul setengah 5 sore. Kita masih duduk berhadapan di bangku depan kosku. 

"Ke danau yuk". katamu tiba-tiba.

Aku mengangguk. Langsung kusetujui pintamu. Aku bergegas mengganti pakaianku. Lebih rapi dan pantas sekarang. Kita menendari sepeda motor menuju ke sebuah tempat yang biasa saja sebenarnya. Bahkan tak ada yang istimewa dari tempat itu. Iya; jika aku mendatanginya sendiri. Tanpamu. Namun ini berbeda. Tempat itu terasa amat sangat megah dengan segala hal yang mengitarinya. Segala hal yang berada disana. Namun, bukan semua hal itu yang membuatku menyukai tempat ini. Ini semua karena kau. Iya, kau memang selalu menunjukkan betap indahnya bersyukur atas kenikmatan apapun yang telah diberikan oleh Tuhan pada tempat manapun. Tak terkecuali danau ini.

Menunggu senja bukan hal aneh lagi bagi kau dan aku. Bagi kita inilah satu-satunya hal yang membuat kita rela berada di tempat itu lebih lama.

"Lihat! Bagus ya. Sayangnya kita tidak dapat memotretnya sekarang" Kataku sembari menunjuk bundaran kuning keoranyean yang indah itu. Dengan mengamit sebelah lenganmu. Kau berikan belaian lembut di kepalaku.
"Mungkin lain kali bisa kita mengambil potretnya, sayang" Katamu menenangkan.

Aku tersenyum kecil padamu. Bergelut manja di sebelah lenganmu. Kita berjalan menyusuri tempat itu. Mengumbar tawa. Melalui canda kuhaturkan segenap rasa nyaman dan amanku padamu. Setelah kita merasa lelah sembari senja juga lelah dan tenggelam. Aku dan kau pun memilih bersandar. Duduk di tepian. Saling menggenggam. Saling beradu pandang.

"Aku mencintaimu" Katamu seperti biasanya. Genggamanku masih belum terlepas.
"Aku juga sangat mencintaimu." Jawabku dengan semburat malu.

Lagi-lagi kau mengusap lembut kepalaku. Entah kenapa, aku merasa sangat nyaman ketika tanganmu bergerak lembut seperti itu. Dan lagi. Aku menggenggam erat tanganmu. Semakin erat. Semakin dekat. Aku mendapatkannya lagi. Beradu tatap tak lupa beradu hasrat. Nikmat.Hangat senja sore tadi.

Surabaya, 21 September 2014
Mneciumi Senja.

Thursday 18 September 2014

Bukan. Mentalku sedang bermetamorfosa.

Ini tentang rasa, asa dan apapun yang menggerahkan. Bukan. Bukan tentang masalah percintaanku dengan kekasihku. Bukan pula dengan masalah cinta kepada orang tuaku. Segalanya baik-baik saja. Iya; baik-baik saja.

Tampak sekali pagi itu. Aku mengenakan rok hitam dan kaos hijau. Iya. Kalian tentu tahu bahwa aku akan berangkat ke kampus tercintaku. Pernah tidak kalian merasakan ada yang janggal pada aku?. Ah mungkin tidak. Aku hanya kaum minoritas. Aku kaum tak tercium sekalipun berliter minyak wangi yang aku pakai. Entahlah. Pagi ini aku tak seceria biasanya. Aku tak seheboh seperti biasa juga. Aku tak pernah tahu apa yang menyebabkan aku begini. Sungguh. Aku merasa kecil. Aku merasa malu. Aku merasa tak berarti apapun.

Nyaliku menciut. Senyumku tersangkut pada awang-awang keraguan. Suaraku memelan, lirih. Aku malas sekali berpura-pura. Aku juga malas sekali untuk menyunggingkan senyumku pada siapapun tak terkecuali. Sedikitpun. 

Kalian pasti ingat betapa aku sangat berbeda hari itu. Aku tak secerah baju yang aku pakai. Aku tak semeriah apa yang aku bawa dalam tasku. Bolpoin. Pensil. Penggaris. Dan alat-alat menulis lainnya. Aku tak seberwarna pensil waran yang kemana saja aku bawa. Ini bukan aku, sungguh. Ini bukan diriku. Aku kehilangan senyumku. Aku merasa sedih. Ingin menangis. Namun tetap kuperlihatkan wajah 'baik-baik saja' ku pada siapapun yang ada didekatku dan menyapaku. Tak terkecuali, kalian semua.

Sungguh, jika saja aku boleh berteriak maka aku akan berteriak sebisaku. Jika saja bunyi kelas musik tak semeriah itu maka suaraku yang akan menjadi gantinya. Hilang. Nyatanya segalanya berubah menjadi senyap. Aku diam. Merasa tersisihkan. Mungkin karena aku sendiri. Entahlah. Betapa aku lebih memilih begini. Menutupi segala sedihku. Melihat kebahagiaan yang (mungkin) saja aku bisa raih sekarang. Namun aku memilih menyisihkannya. Aku memilih tak menghiraukannya. Aku memilih diam. Mentalku tergoyahkan. Aku ingin pergi. Entah pergi kemanapun yang aku suka. Tanpa keterpura-puraan, tanpa keterpaksaan, tanpa apapun yang membebani hatiku dan juga rasaku.

Aku ...
Sudah tak kudapat lagi kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku. Aku ingin menangis sekencangku. Aku tak dapat lagi tersenyum. Segalanya menyesakkan. Terkoyak dalam bentuk seperti apa mentalku saat ini. Entah. Perih. 

Ibu ...
Aku ingin menemuimu. Memohon perlindunganmu. Meminta pelukmu. Menghempaskan segala tangisku pada pundak lembutmu. Dalam hal apapun ternyata hanya kau yang mengertiku. Aku ingin bertemu,bu. Anakmu tak sedang baik-baik saja. Aku merasa sendirian. Jika saja kekasihku tak disini, aku tak akan sekuat ini, bu. 

Sudah cukup segalanya kucurahkan. Karena kalian tahu tak akan ada kata yang tepat untuk membuatku lega. Terimakasih segalanya. Ini suatu pelajaran.

Surabaya, 18 September 2014
'melegakan hati pada tempat yang tersembunyi'

Sunday 14 September 2014

Berbagi Senja


Sore Itu.

Iya. Hari ini adalah hari minggu. Dalam rentang waktu 3 bulan yang lalu aku tak pernah bahagia dengan hari minggu. Ya. Tentu kau tahu, Karena minggu sore ini aku bersamamu. Iya; kamu kekasihku. 

Ini masih pukul 14.56 wib. Kita mempunyai janji pada pukul 15.00 wib. Namun, kau sudah berada di depan kosku pada sebelum jam yang kita sepakati. Senyumku mengenbang lebar tanpa perintah dari siapapun. Kau pun begitu. Dalam hal berbagi suka kita sudah biasa. Berbagi duka pun kita ahlinya. Aku menaiki motor tepat berada di belakang punggungmu. Sore itu sangat panas namun terasa dingin di belakangmu. Rasanya ingin sekali memelukmu dalam jarak sedekat ini. Namun, aku masih saja malu-malu dan memilih diam membisu. 

Sudah sampai. Kita memilih danau untuk mengambil gambar kita berdua. Aku senang sekali melihatmu melalui celah kameraku. Aku menyukai lengkungan senyum di wajah tegasmu. Aku menikmati setiap inchi mukamu dalam celah kameraku.

Mulai dari sore panas yang membakar tubuh dari celah kerudungku. Hingga senja yang menguning di balik celah gedung tinggi dekat danau. Aku menyukainya. Terlampau mencintainya. Aku tetap ingin berbagi senja. Denganmu saja.

Lidah Wetan.
15/09/2014

Tuesday 2 September 2014

Tak Ada Mimpi Yang Mengkikis


"Kau luluhkan hati yang beku, Kau sembuhkan hati terluka. Ikhlas kau lakukan untukku"

Itu adalah beberapa kata yang saya ingat ketika saya mendengarkan lagu yang dibawakan oleh penyanyi pendatang baru Maudy Ayunda ini. Awalnya memang saya tak begitu menggubris tentang lirik lagu dan nada dalam nyanyian tersebut. Namun beberapa kata itu tadi tiba-tiba masuk dan saya ingat hingga sampai pada tujuan saya. Iya, pagi ini saya sedang berjalan menuju sebuah tempat yang (dulu) ketika saya kecil saya sering bermain disini. Desa memang tempatnya, namun tempat ini jauh lebih indah dari apapun yang ada di bumi ini (yang pernah saya lihat).

Sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah yang mulai menguning karena ini memang sudah masuk pada musim panen sungguh pemnadangan yang menyejukkan mata. Jauh meninggalkan segala kegiatan yang begitu menguras tenaga. Jauh dari segala hal yang membuat penat ketika terhalang macet di tengah kota. Dan berbagai hal membosankan lainnya yang saya lakukan setiap hari.

Jalan yang bergelombang di penuhi dengan bebatuan cadas yang sungguh jika ban mobil ini bisa berteriak maka ia akan berteriak dengan sekat tenaganya. Namun bagiku ini sungguh sangat mengasyikkan. Segala hal yang ada di desa memang mengesankan. 

Tiba pula aku pada sebuah bangunan (rumah) tua yang di pinggirnya masih terdapat beberapa bungan dan kentongan. Begitu tidak asing bagi saya ketika mengetuk pintu coklat rumah ini. Beberapa menit saya menunggu. Terdengan suara langkah kaki dengan terburu-buru membukakan pintu. Wanita tua yang masih kelihatan muda menyambut saya. Saya perkirakan wanita ini berumur sekitar 59 tahunan. Wanita ini menatap saya lekat, mungkin mencoba mengingat siapa saya. Saya mendekatkan wajah saya untuk mencium tangannya.

"Ibu, masih ingat saya?" semabri tersenyum padanya.
"Iya nduk, ibu ingat. Bunga kan? sekarang sudah dewasa ya. Ada apa nduk kesini?" tanyanya memburu.
"Endak buk, saya hanya kangen dengan tempat ini. Saya rindu dengan sampean dan bapak. Bapak mana?" Tanya saya.
"Ayo masuk dulu nduk" pinta ibu dengan sedikit perubahan wajahnya.

Saya mencoba mengingat isi rumah ini. Tak ada yang berubah. Yang lebih membuat saya terenyuh adalah masih ada gambar anak perempuan kecil yang mirip sekali dengan saya dan saya yakin jika itu memang saya. Begitu polos dengan foto tanpa warna itu. Saya menjadi teringat segala kenangan di sini. Pertama saya merajut mimpi. Pertama saya mengerti bagaimana mensyukuri hidup ini. Dan pertama saya mempunyai angan untuk kembali ke desa ini. Saya masih ingat dengan mimpi yang saya tulis pada sudut tembok rumah ini. Saya mencoba mencarinya. Saya menemukannya. Iya, pada susudt ruang tamu. Saya menuliskan "Saya ingin kembali ke desa ini saat usia sayan 19 tahun". Dan sekarang saya mampu untuk merealisasikannya. 

Lihat, di sini tak ada doa dan harapan yang mengkikis karena pertumbuhan (usia).


Lidah Wetan, 2 September 2014


Monday 25 August 2014

Hold On


Selalu ada yang berbeda di pagi tanggal 26. Selalu ada harapan baru. Selalu merapal doa agar kian bersatu. Iya; denganmu. 

Sembilan bulan yang lalu. Tanggal 26 hari itu. Bulan November telah jadi milikku. Ingatkah ketika itu kau duduk di sebelahku. Mengajakku untuk saling menelanjangi perasaan satu dengan yang lainnya. Aku berdebar waktu itu. Jantung tak karuan. Aku rasa kau pun begitu. Aku mengucapkan selamat datang kepadamu pencuri hatiku. Lelaki sederhana dan pandai sekali mengundang tawa. Ada ruang dalam diriku yang dengan senang hati bersedia menerimamu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mengertimu nanti. Iya, ketika kelak kau telah menjadi milikku. Saat itu tak tau harus kupasang mimik muka yang seperti apa lagi padamu. Aku gugup. Lidahku kelu. Jantungku berdegup.

Kau tentu tahu bagaimana aku waktu itu. Aku pun sangat tahu bagaiman kau waktu itu. Dengan mukamu yang meurutku kau juga gugup berhadapan denganku. Kau mulai berbicara apa maksudmu mengajakku duduk di sebelahmu. Iya, sejak saat itu kau telah mejadi milikku dan aku pun menjadi milikmu.

"Selamat Datang cinta, jadikan aku tempat terakhirmu berlabuh. Jadikan aku tempatmu mengungkapkan bahagia dan duka."

Iya, begitulah cara hatiku menyapa hatimu yang sekarang telah menjadi satu denganku. Aku berjanji akan senatiasa bersama dalam keadaan apapun. Bersamamu.

Selamat mengulang kembali tanggal 26.
Tetaplah menggandeng tanganku untuk tangal 26 berikutnya dan seterusnya.

Kediri. 26/08/2014
Persembahan Untukmu; lelaki terhebatku.

Monday 18 August 2014

Rindu Sendu


Ini tentang rinduku yang semakin hari menumpuk sendu.

Hallo, apa kabar Tuan?
Hallo, apakah rindumu masih membaik?
Hallo, Tuan... Kau dengar aku?
Halo... Haloo.. haloooooooo?

Tut.. tut... tut..

Sambungannya terputus. 

Ku usap keringat yang menetes pada pelipis kiriku. Jangan berfikir aku baru saja berlari atau olahraga. Bukan. Aku baru saja bertarung dengan obat bius dan para kurcaci berbaju hijau. Selang infus dan sprei yang berantakan karena penolakanku untuk dicengkeram para tangan kurcaci itu. Aku berusaha lari, tidak ingin pemasungan ini terjadi.

Aku berhasil berlari. Menjauh dari mereka semua. Bersembunyi di balik tembok besar sebuah koridor dan di samping kamar bertuliskan Bougenvil 03. Aku lemas. Rasanya lututku sudah tak mampu lagi menopang tubuh besarku. Aku ambruk. Aku kais telepon genggam yang ada pada saku baju khas bau obat ini. Dengan mata yang selebar gambaran garis ini, aku mencoba menghubungi seseorang. Iya; seseorang yang mungkin dan aku rasa dia sangat mau untuk membawaku bersenang-senang dalam deras derai hujan. Aku menekan sebuah nomor bertuliskan nama 'Kekasihku'. Tersambung. Tawaku mengembang lebar. 

Panggilan pertama tak mendapat respon darinya.

Kucoba dengan menekan kembali nomor itu. Panggilan kedua mengalami pengacuhan.

Masih saja aku membandel dengan menekan panggilan ketiga. Panggilan ketiga mengalami pengabaian.

Berkali kali aku mencoba. Sudah 20 kali aku menekan nomor yang sama. Rasanya ingin menagis sekencang-kencangnya. Tapi, aku takut para kurcaci pembawa obat dan jarum suntik itu mengetahui keberadaanku. Kucoba berdiri mencari tempat sembunyi yang lebih menepi. Aku berjalan sempoyongan.

Bruuuuaaaaaaakkkkkkk !

Aku menabrak seseorang. Tidak! Ini pasti para kurcaci itu. Tamatlah riwayatku. Aku berlari semampuku. Orang itu mengejarku. Kali ini dia sendiri. Tidak bersama pasukannya. Aku berhenti. Aku mencoba menyerah. Sudah. Aku pasrah.

Orang itu memelukku dari belakang. Tuhan, sungguh Engkau Maha Baik. Ternyata dia kekasihku. Digendongnya aku menuju entah tempat apa ini. Aku hanya melihat sebuah ruang bersudut empat yang hanya diisi dengan tempat tidur berwarna putih bersih dan sebuah meja kecil beserta sebuah pigora berisi potret kami.

"Kamu akan aman di sini" Katanya sembari merebahkan tubuhku di pembaringan berbau harum ini.

Senyumku kembali mengembang. Aku memeluknya. Dibenamkan pula kepalaku di dadanya. Aku merasa sungguh sangat aman dan nyaman. Aku tenang. Sungguh lelaki ini begitu tahu bagaimana memperlakukan aku. Diciumnya keningku. Kembali kerekatkan tubuhku pada sebuah pelukan terhangat yang pertama aku rasakan. Lelakiku.

Tiba-tiba seseorang menarikku. Memaksaku untuk melepas pelukannya. Aku memeberontak. Orang itu tetap saja menarikku. Dan berkata: 

"Adek! Sudah shubuh, ayo sholat dulu"

Oh. Ternyata aku hanya bermimpi. Itu suara Ibuku.

Iya, beginilah aku. Rinduku sudah teramat tebal. Sehingga aku sering kehilangan nyenyakku karena waktu tidurpun aku tetap merindumu.

Kediri, 19 Agustus 2014


Saturday 16 August 2014

Rindu

Rindu ini merongrong lagi
Bergelayut manja dalam sepi
Sudah pula kupasang topeng berhias belati
Oh... Rindu tenanglah sedikit, mengerti?

Aku bukan pula anganku
Merajut asa dalam hias lembayung yang merona
Mengapa belum jua kutemui temu yang nyata?
Rinduku mengganas jua

1 bulan 2 bulan 3 bulan
Belum jua hitungan jam dan hari yang lainnya
Aku semakin ringkih
Menanti tanggal dan jam yang berputar

Rinduku berteriak
"Pasang topengmu... Pasang topengmu..!!!"
Tak jua kupedulikan teriakan itu
Aku menutup telingaku
Merubah asaku, merebah badanku...lesu

Rinduku... Entah bagaimana dirimu. Aku yakin kau juga mengharapku.

Kediri, 17 Agustus 2014
Rindu

Tuesday 8 July 2014

Beberapa Minggu Setelah Perpisahan Kecil Kita.

Untuk kamu, yang sedang berada di kampung halamanmu.

Jujur saja Tuan, setelah hari itu. Hari dimana kita tak akan bertemu untuk beberapa bulan kedepan, hari dimana sebuah perpisahan kecil akan dimulai. Jatungku bedegup cepat pagi itu, aku merasa ada yang kurang dengan penampilanku hari ini padahal biasanya aku juga seperti ini saat akan berangkat ke kampus. Tiba-tiba aku terkulai lemas di tepi kasur kamar kos ku. Aku diam selama beberapa menit. Entah apa yang membuat aku terduduk seperti ini. Aku mendongak ke atas. Dimana terpajang jelas foto kita berdua. Aku tersenyum kecil melihatnya. Kecut. Sedih. Aku merapikan kembali pakaianku dan bergegas menuju kampus.

Aku memarkir sepeda motor buntut bawaan dari rumahku. Aku bangga menaikinya. Setidaknya motor ini aku beli dengan uang sendiri. Sudah. Aku berjalan melewati korodor kampus. Menaiki anak tangga satu demi satu dan sampailah aku pada sebuah kelas yang sekarang terasa sangat bising namun kosong untukku. Aku belum melihatmu. Mataku tak mau diam, berusaha mencari sosokmu. Hatiku gemas ketika mendengar langkah kaki yang serupa dengan langkah kakimu dan ternyata itu bukan dirimu. Sampai dosen pengajar masuk, ku tak melihatmu. Ku coba mengirim pesan singkat padamu berkali-kali. Nihil. Tak ada jawaban. 

Selang beberapa menit, aku mendengar derap langkah kaki yang aku yakin itu pasti milikmu. Ya. Dugaanku tepat. Kamu memasuki ruang kelas dengan sangat santai tanpa peduli apapun. Aku semakin gemas dibuatmu. Ingin aku teriak di samping telingamu. Apakah kamu tidak melihat kecemasanku. Namun, lupakan saja tentang kecemasan dan sebagainya. Kini senyumku mengembang karena hadirmu. Terima kasih Tuan pemilik derap kaki yang membuat jantungku berdegup lebih cepat.

Kini tiba juga dimana kita berpisah. Ini hanya sementara, kamu meyakinkanku. Aku mengiyakan saja. Aku tahu, kamu lebih rapuh dan berusaha untuk tak membuatku menangis sebelum berpisah. Kamu mengajakku seharian penuh bersamamu. Mulai dari makan di warung soto kesukaan, makan icecream se-box penuh dan dibuat mainan serta hal-hal membahagiakan lainnya.

Namun, aku tak bisa menutupi bahwa sekarang aku benar-benar merindumu. Rinduku bertumpuk dengan sesak dipenuhi pilu. Tuan, aku merindumu. 

Kediri, 8 Juli 2014
Untuk KITA dan Rindu.

Sunday 29 June 2014

Untuk Kau.

Untuk waktu, yang kurindukan
30 Juni 2014.

Yang temaram itu cahaya lilin, sayang
Yang meneduhkan itu terpaan angin, sayang
Yang melegakan itu aliran air di tenggorokan, sayang
Yang mampu menghujani berkah adalah bulan ramadhan, sayang

Sayangnya...
Aku tak mampu melihatmu sekarang
Aku terpisah jarak dan waktu denganmu sekarang
Aku semakin merindumu sekarang

Jika jarak tak membentang
Jika waktu tak membedakan
Aku ingin kau segera datang
Membawa keberkahan layaknya bulan ramadhan

Bukan dengan kejutan besar
Hanya dengan senyum ketulusan
Bukan dengan tatapan nanar
Hanya dengan rona kebahagiaan

Selalu ada doa untuk engkau yang kurindukan.

Kediri, Akhir Bulan Juni 2014

Thursday 26 June 2014

Temaram.

Malam ini lampu dirumahku padam. Iya. Memang sedang ada pemadaman listrik di sekitar wilayah rumahku. Ya. Ibuku sudah mondar-mandir kesana kemari untuk menyalakan lilin. Aku hanya diam di pojokkan ruang keluar sembari melihat ibu sedang menaruh beberapa lilin disana. Aku bertanya pada ibu yang saat itu sedang menyulut api pada sebuah lilin di dekat televisi.

"Bu, jika lilin itu leleh. Apakah apinya akan segera padam?" tanyaku menerawang.

Ibu hanya tersenyum melihatku. Aku melihat senyuman tulus seorang ibu dibawah gelapnya malam diterangi cahaya lilin yang temaram. Ibu tak menjawab pertanyaanku. Mungkin ibu tahu, aku bertanya pada ibu hanya untuk mengurangi rasa takutku. Ibu kembali menyulutkan api pada sebuah lilin yang ada di sebelah fotoku pada waktu kecil. Aku melihat wajahku saat itu, padanganku nanar. Betapa dulu aku tak merasa punya beban saat hrus tertawa di depan kamera yang pada waktu itu Ayahku sendirilah yang memotonya. 

Akhirnya ibu selesai menyulut api pada lilin. Sekarang beliau duduk di sofa yang ada di depan televisi. Ibu menggebuk-gebukkan tangannya di sofa sembari berkata;

"Duduk sini, jangan disitu. Adem nduk." Ucapnya dengan logat Jawa yang kental.

Aku menurut saja dengan perintahnya. Aku duduk disamping ibu. Kusandarkan keplaku pada bahu terkuat yang selalu menopangku. Iya; bahu Ibu.

"Ibu, apakah aku kelak akan mendapatkan lelaki yang se-setia Ayah, bu? " Tanyaku tiba-tiba.

"Ya kalau kamu baik, kamu pasti akan mendapakan lelaki yang setimpal dengan kebaikanmu, nduk" jawab ibu sembari mengelus rambutku.

"Bu, jika kekasihku sekarang tak sebaik Ayah? Apakah engkau akan tetap menyukainya , bu?"

"Ibu hanya akan menyukainya jika kamu juga menyayanginya, nduk. Ibu yakin kamu dan kekasihmu akan terus saling memperjuangkan dalam kebaikan." Ucap ibu lirih, menguatkan.

Aku memeluk Ibu. Jika memang Ibu sudah mengatakan seperti itu. Aku sudah tak ragu jika melangkah bersamamu. Untuk kamu yang sekarang bersamaku. Kamu lelakiku. Bejanjilah, jika kamu tak akan menyakitiku dalam bentuk apapun; perasaan maupun perbuatan. Berjanjilah, untuk tetap berpeluk denganku; dalam suka maupun duka. Berjanjilah untuk selalu menjadi pahlawanku. Bukan hanya untuk 7 bulan kebelakang. Namun juga untuk bulan dan tahun kedepan. Aku mohon, berjanjilah...


Kediri, 27 Juni 2014


Monday 9 June 2014

Jika Harus Berakhir Disini...

Ini kesalahan terbesarku. Menyembunyikan sesuatu yang pada akhirnya kau tahu. Ini jalan yang sulit untukku. Jika harus meninggalkanmu, aku merasa tak mampu. Namun, jika aku harus bertahan denganmu, aku takut semakin menyakitimu. Aku tahu, bahwa aku tak lebih menenangkan dari alkohol yang (aku percaya) saat ini sedang kau tenggak perlahan.

Ya jelas aku tak menenangkan. Toh, ini semua karenaku. Jika harus berhenti di sini, aku tak pernah tahu akan jadi apa aku nanti tanpamu, tanpa pelukmu, tanpa gandengan tanganmu. Jika harus berhenti di sini aku mersa tak sanggup jika harus membopong segala impian di masa depan yang telah aku susun rapi bersamamu.

Aku tahu, kamu pasti akan menganggap semua omonganku adalah hanya omong kosong semata. Tak dapat dipercaya. Jika aku di posisimu, aku akan seperti itu. Mungkin lebih dari apa yang kau lakukan padaku sekarang. Bukan hanya aku, mungkin kau sekarang juga sedang berusaha menempatkan dan menenangkan hati pada satu sudut yang tepat. Tanpa tedeng aling-aling sesungguhnya aku hanya ingin bersamamu saat ini. Aku ingin melihat bagaimana aku bisa menyakiti seseorang sebaik kamu. Bagaimana aku dengan bodohnya bisa melakukan hal sejahat itu kepada kamu; tercintaku.

Maaf. Jika tak mampu kutebus dengan maaf. Maka ijinkanlah aku membasuh perlahan luka yang aku gores dengan tajam. Maka setelah luka itu terlihat lebih baik, maka ijinkanlah aku merawatnya hingga sembuh. Akan kujaga dan tak akan kugores lagi. Aku berjanji. 

Jika harus berakhir di sini. Aku ingin sedikit senyum tulusmu mewarnai langkahku ke depan.Aku ingin berpeluk denganmu untuk menjadi kekuatanku menopang mimpi bersama. Serta menikmati secuil bibirmu untuk menjadi ketenangan yang paling damai.


Surabaya, 9 Juni 2014
"Jika harus berakhir di sini
aku tak ingin sendiri 
melangkah menuju masa depan 
dengan kau yang aku kasihi"

Friday 6 June 2014

Sebuah rasa yang lebih dari sekedar rasa...

Bukan hanya sekedar rasa yang saya miliki untuk sebuah rasa. Bukan hanya sekedar rasa yang saya miliki untuk sebuah rasa yang sedang membuncah saat ini. Bagaimana jika rasa memang sudah menjadi lebih dari rasa? Entah, aku akan menyebutnya apa. Entah ini akan lebih pantas disebut apa. Saya bukan seseorang yang pandai  berkata tentang apa yang saya rasakan. Saya bukan seseorang yang pandai merasakan sesuatu dan menghilangkannya begitu saja. Terlebih ketika rasa ini telah memilihmu. Aku sudah tak mampu menyebutnya ini rasa apa. Bagaimana. Daarimana dan mengapa. Seglanya berjalan begitu saja. Segalanya telah termaktub teramat dalam karenamu.

Bukan hanya sekedar rasa. Entah aku menyebutnya apa. Aku selalu membayangkan bagaimana jika aku dan kamu telah menjadi satu. Aku selalu membayangkan hal0hal indah bersamamu. Aku selalu merangkai masa depan denganmu, kamu. Iya; kamulah tokoh utama dalam alur perjalanan hidup saya. Kamu sudah lebih dari sekedr kekasih. Kamu sudah jadi, pendamping hidup. Pelengkap hidup. Tempat bergantung, tempat berbagi, tempat menyandarkan segala hal yang melelahkan. Kamu; bahagia dan sedihku.

Betapa tak henti aku mengucap syukur pada-Nya. Ketika sujud dalam sepertiga malamku. Namamu selalu ada dalam daftar barisan orang yang aku doakan. Betapa segalanya telah menjadi apa-apa tentang kamu. Kamu; sempurnaku.


SURABAYA. 7 JUNI 2014
"Menunggu kepulanganmu"

Wednesday 4 June 2014

Rindu.

Percaya atau tidak? Jika cinta itu selalu membutuhkan airmata. Entah itu airmata kebahagiaan atau airmata kesedihan. Ya; saya percaya dengan itu. Umpamakan saja jika sebuah pelangi muncul tanpa hujan?. Tidak mungkin, bukan?. Pelangi selalu membutuhkan hujan ketika dia kan muncul. Sma seperti cinta, dia selalu membutuhkan airmata sebelum bahagia. 

Tentang airmata yang saya paparkan di atas. Saya sedang bersamanya sekarang. Saya telah ditemaninya selama beberapa hari ini. Mungkin bukan beberapa hari namun sejak saya dan kamu terpisah beberapa jam saja, saya telah ditemani oleh airmata. Saya lebih tidak bisa berbohong lewat tindakan daripada ucapan. Saya mampu berkata bahwa saya baik-baik saja. Tapi airmata saya membongkar semuanya, saya tidak baik-baik saja.

Kamu. Sudah sekitar 6 hari ini saya tak bertatap langsung denganmu. Saya tak mampu menjamah tubuhmu. Saya tak bisa melihat indah lingkar senyummu. Saya telah bersama rindu yang kau kirim untuk menemaniku. Bukan saja airmata, saya kadang tertawa geli mendengar rekaman suara kita. Betapa suaramu selalu menenangkan. Betapa suaramu selalu menjadi obat paling manjur yang saya andalkan. Betapa tak pernah ada suara seindah suaramu.

Saya menangis kembali tadi malam. Jujur saja, saya sudah tidak mampu menyembunyikan rasa rindu saya padamu. Saya sudah tak mampu menahan gempuran rasa ingin bertemu denganmu. Saya menghitung hari, sudah seperti orang gila saja jika setiap hari saya berdoa semoga hari-hari yang ada cepat berlalu. Agar saya segera bertemu denganmu. 

Seandainya, sang waktu dapat mengerti.

Kediri, 5 Juni 2014.

Monday 2 June 2014

Merindu Purnama


Ini hari ketiga aku tak bertemu denganmu. Rinduku semakin menggebu diiringi mendung kelabu di kota kelahiranku. Purnama merah jambu kini tersungkur lesu. Purnamaku. Kamu. Aku pulang kemarin, hari minggu 1 Juni 2104. Menaiki bus patas jurusan Surabaya-Blitar yang memang melewati kota kelahiranku, Kediri. Aku sebenarnya enggan beranjak dari rumah kos ku karena aku fikir ini hanya libur seminggu. Aku paling malas jika harus bolak balik Kediri-Surabaya. Namun, apalah daya seorang anak semata wayang seperti aku. Iya; ibuku. Beliau memaintaku pulang. Kangen katanya. Yasudah, sebagai anak yang cenderung luluh ketika mendengar rajukan ibu, aku memutuskan pulang.

Pagi hari. Minggu pagi, kamu masih sempat meneleponku dari rumah tempat tinggalmu. Iya, kamu pulang terlebih dahulu daripada aku. Aku masih mendengar suara beratmu lewat sambungan telefonku. Iya; aku sudah rindu pada saat itu. Entah kamu tahu atau tidak. Aku yakin kamu merasakannya. Aku berpamitan padamu, aku memintan izin untuk pulang. Kamu tak menjawab smsku. Aku fikir, kamu sedang tertidur lagi. Namun, lewat akun jejaring sosialmu kamu menulis kalimat ini :

"Hati-hati di jalan sayang :) Tuhan bersamamu, cintaku juga :D" .

Betapa senang aku ketika aku membaca kalimat itu. Aku emmang telat membacanya. Aku baru sempat membukanya ketika baru 5 menit aku merebahkan tubuhku di atas kasur empuk berbalut sprei pink kesayanganku. Segera aku membalas tweetmu itu. Begini :

"Terimakasih sayang, aku sudah sampai rumah dengan cantik kok :D"

Aku telah sampai pada hari ketiga. Iya; hari ini. Aku merindukanmu mungkin lebih dari sekedar merindu. Sungguh, jika saja jarak puluhan kilometer ini dapat aku lipat hanya untuk sekedar bertemu. Ah~ itu bukan harapan yang muluk kan menurutku. Aku hanya ingin bertemu. Memelukmu. Purnamaku.

KEDIRI. 2 JUNI 2014

Thursday 29 May 2014

November Milikku.

Dear November,

Selamat Datang bulan November. 26 November 2013.
Hari itu kamu dan aku masih sama-sama tersipu. Terdiam dalam beku. Menyimpan rasa yang sebenaranya sudah meletup-letup layaknya popcorn yang selalu ada saat orang-orang menonton bioskop.
Aku masih ingat bagaimana wajahmu dari kejauhan menatapaku diam-diam seperti ingin menyampaikan sesuatu. Awalnya segalanya memang sedikit tersirat dari tatapanmu padaku. Aku juga ingat baju apa yang kamu pakai pada waktu itu. Celana dan bagaimana tatanan rambutmu pada waktu itu. Aku hanya berusaha tersenyum, meski itu tak menghangatkan setidaknya kau tenang dan tersenyum juga. Disitu, kau bertanya soal pertanyaan beberapa waktu lalu yang belum aku jawab "kamu mau jadi pacarku?" aku menjawab pertanyaan itu dengan pipi yang merona, menunduk, aku malu.

Sejak hari itu. Kamu telah menjadi milikku seutuhnya.

SURABAYA.
"Tentang 26 November 2013, milikku"

Monday 26 May 2014

Stupid Little Note !

Stupid Little Note. Just for you, bob!




Ini saya buat pada tanggal 25 Mei 2014. Iya; tepat pada pukul 21.34 saya membuatnya. Sehari sebelum 6 bulan kita. Saya menyebutnya dengan Stupid Little Note. Hahaha. Bagaimana tidak, seorang seperti saya bisa membuat hal yang kata teman-teman kost saya "romantis bingitssssssss" (ini sumpah, it's not DOBOL). 

Kalimat pertama yang saya tulis adalah "I write it with a little love and i write it with a little hope". Ya; benar, saya memang sok inggris kalau kata orang Jawa, saya itu keminggris :D. Biarlah orang berkata apa, saya punya maksud dalam menuliskan kata-kata itu. It's not just a word, ada harapan kecil dari kalimat di atas. Ya; saya berharapa akan ada sedikit cinta dan harapan untuk saya dan kekasih saya. Tentunya, kita tidak boleh mengharapkan dari yang terbesar kan? Maka dari itu, saya menuliskannya begitu.

Kalimat kedua yang saya tulis adalah "It's not difficult to spend 6th months with you". Iya; bagi saya sangat tidak sulit jika harus menjalani waktu selama 6 bulan ini jika saya tetap berpeluk dengan kekasih saya. Saya tetap bisa melihat senyumnya. Saya tetap setia berada disampingnya. Ya; tidak sulit jika harus menjalani waktu seberapa lamapun selama saya tetap berpeluk dengannya; kekasih saya.

Kalimat ketiga yang saya tulis adalah "It's so great. I hope you will stay, please don't go away. You're my better life.They don't know anything. They just know that we have a relationship". Memang benar, dia adalah segala sumber inspirasi dari hidup saya. Biarlah orang mengatakan hal-hal buruk tentang dia. Saya tak perlu mendengarnya, dia adalah keindahan tersendiri buat saya. Segala sumber inspirasi dan imajinasi saya. Tentu saya berharap dia tidak akan pergi keman-mana. Saya tetap ingin bersamanya selama-lamanya.

Kalimat keempat yang saya tulis adalah "Thanks for your love and thanks for your time". Ini saya tulis sembari mendengar rekaman suara kami berdua. Sungguh, aku begitu mencintai suaranya. Tentu semua tahu, aku mencintai segala yang ada padanya. Baik buruknya. Maka, aku mengucapkan terimakasih banyak atas cinta dan waktunya. Kalau kata Keith Martin "Thank you for the love and the joy you bring" :D
Kalimat kelima yang saya tulis adalah "YOU. Sometimes make me grumpy but everytime I Miss You". Iya; terkadang dia memang membuat saya marah-marah dengan sikapnya namun  saya lebih banyak merindunya di setiap waktu saya. Sungguh; dia telah mengajarkan pada saya betapa merasakan rindu itu adalah kenikmatan.

Kalimat terakhir yang saya tulis adalah "This is my little stupid note. But I just wanna say I LOVE YOU. Happy 6th months anniversary bob :)". Yeah! Sebenarnya saya hanya ingin mengucapkan kalimat ini padanya. Namun saya tak ingin mengucapkannya dengan cara yang biasa makanya saya percantik dengan kalimat kalimat di atas. Ya; sudah 6 bulan saya melewati waktu bersamanya. Berbagi suka dan duka didalam peluknya. 

Terimakasih, sayang. 
Aku mencintaimu. MHS.

Surabaya. 27 Mei 2014



Sunday 25 May 2014

LELAKIKU !

Laki-laki seperti ini yang sekrang menemani saya berjuang melawan kerasnya kehidupan. Dia adalah lelaki penyabar sebenarnya. Dia tidak pernah marah dengan saya, dia hanya diam ketika dia merasakan cemburu, ketika dia merasakan ketidakenakan saat bersama saya. Dia adalah laki-laki paling simple yang pernah saya temui. Dia adalah lelaki yang sederhana jauh lebih sederhana dari kalimat simple present tense. Dia laki-laki yang jauh lebih bisa membuat saya ringkih ketika tanpa peluk lembutnya. Dia adalah lelaki penyuka kopi. Pecandu batangan berasap (rokok) yang dengan senyum tawa khasnya mampu membekukan segala kecairan saya. Dengan lengan yang kuat mampu menopang segala kelemahan saya. 

Penyuka kopi ini sangat menggilai hujan. Itu yang saya tahu. Saya selalu berharap hujan datang ketika kami sedang bersama. Lelaki pemilik rambut lurus ini suka sekali dengan musik bergenre rock-metal yang menurut saya sebenarnya musik-msuik seperti itulah yang mengantarkan saya pada mimpi buruk. Bagaimana tidak, alunan musiknya sangat memekakkan telinga saya. Namun, dia berkata bahwa dia memperoleh ketenangan melalui musik seperti itu. 

Selain menyukai kopi, lelaki ini juga menyukai warna hitam. Segala hal yang ada padanya selalu dibalut dengan warna gelap, terutama hitam. Entah, mungkin menurutnya itu warna paling maskulin yang pantas ia kenakan. Pemilik gigi rata yang acap kali sering membuat saya menangis tiba-tiba ini memang telah menjadi candu yang teramat besar dalam hidup saya.

Saya telah merancang hal-hal indah bersamanya. Saya telah menaruh harapan besar pada kedua pundaknya. Saya telah berharap akan menjadi wanita satu-satunya yang ia panggil dengan sebutan "istriku" dan saya telah berani menjatuhkan segala takdir kehidupan saya kepadanya.

Untuk kamu, LELAKIKU.

SURABAYA. 25 MEI 2014
"LELAKIKU. MHS"

Friday 23 May 2014

Jaloux (Cemburu; Perancis)

Kepada yang terkasih, kekasihku untuk selamanya.

Bukan hanya aku yang merasakan apa yang sekarang sedang aku rasakan. Aku yakin kamu pun juga merasakan apa yang aku rasakan. Mulutku memang tak pernah mampu mengungkapkan dengan lantang apa yang aku rasakan. Aku selalu memilih diam dengan apa yang aku rasakan. Kamu tak mau kalah, kamu selalu mendesakku dengan segala katamu. Aku membisu.

Tak hanya berhenti dari situ. Aku tetap diam, aku selalu ingin kamu tahu tanpa aku harus bilang. Namun aku harus sadar bahwa kamu bukan malaikat yang harus tahu perasaanku tanpa aku harus bilang. Baiklah, dengan segenap kekuatan yang aku punya, dengan muka merah padam malu-malu dan suara terbata-bata. 

"Kamu kenapa se? Kamu jangan diam begitu!" Ucapmu tepat di depan mukaku.

"Aku. Nggak apa-apa kok" Ucapku dengan menundukkan muka.

"Kamu bohong. Kamu tidak bisa membohongi aku, matamu tak pernah menipu. Kamu kenapa?" desakmu.

"Aku........ Aku ce-m-bu-ru . Iya; aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan dia. Apapun bentuk kedekatanmu, apapun yang kau lakukan, bagaimana pun tingkahmu selagi itu interaksimu dengan dia, AKU TIDAK MENYUKAINYA!" Suaraku memekak ketelinganya.

"Maaf."  Katamu lembut.

Aku hanya menundukkan kepala. Aku tak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa sebegitu cemburunya dengan dia (perempuan). Aku selalu saja begini, aku selalu tak bisa mengendalikan hati ketika ada hal yang membuatku merasa takut kehilanganmu.

Untukmu yang terkasih, kekasihku sepanjang masa.

Tak ada yang mampu  menandingi keindahanmu. Tak ada yang mampu membuatku begitu nyaman dan aman ketika berpeluk. Aku hanya merasa begitu ketika denganmu. Sungguh, jika aku harus memilih. Jika aku harus berbicara. Jika aku harus mendiskripsikan tentangmu, aku hanya mampu berkata: kamu itu indah, jauh lebih indah dari apa-apa yang diciptakannya.


Surabaya.
Setelah pertandingan bola tangan.

Tuesday 6 May 2014

Rindu Kala Temu

Merindukanmu itu seperti mengharapkan es buah saat puasa. Seperti mengharapkan uang ratusan ribu saat akhir bulan. Seperti mengharapakan pesawat terbang turun ke air. Iya; merindukanmu itu mudah timbul namun tak akan pernah mudah untuk dihilangkan. Seperti sekarang ini, yang aku tau aku memang sedang merindukanmu. Aku tak peduli telah berapa lama kita bertemu. Entah sebentar atau lama. Aku memang sedang merindukanmu.

Belum lagi masalah jaringan kartu provider yang aku gunakan. Ini sungguh sangat menyiksa. Aku sudah mengeluh kebeberapa orang teman tentang masalah kartu provider ini. Namun, mereka juga mengalami hal yang sama denganku. Ini sebenarnya ada apa dengan kartu provider yang aku gunakan?. Aku juga sudah mengeluh padamu. Kita sama-sama gemas dengan ulah kartu provider ini.

Sore ini, aku sebenarnya telah berharap ada sms masuk tentang kabarmu. Namun, handphone yang sejak siang tadi bertengger manis di atas buku bacaan milik ibuku itu tak bergerak dan berbunyi sama sekali. Aku tahu ini bukan salahmu dan salahku. Ini hanya masalah jaringan provider yang memang sedang rewel akhir-akhir ini. Iya.

Tapi rindu itu kini telah melebuh dalam temu. Iya; senin kemarin tanggal 5 Mei 2014. Aku dan kamu serta temu itu telah melebur jadi satu dalam riuhnya tawa suka cita kita. Untuk yang kesekian kalinya, aku memelukmu mengungkapkan rinduku tanpa banyak kata. Kamu memelukku, mengungkapkan rindu dengan nada yang seirama. Sungguh temu kali ini terasa berbeda karena sebelumnya memang aku kamu buat cemburu terlebih dahulu. Sungguh, aku sebal padamu. Kamu ini tahu apa tidak kalau aku merindukanmu.

Setelah itu memang kamu menyuruhku untuk membicarakan apa yang aku rasakan, katamu segala sesuatu akan terasa lebih mudah jika dibicarakan. Iya; memang benar. Namun masak kamu belum mengerti juga dari sorot mataku padamu dan padanya?. AKU INI CEMBURU. AKU TIDAK SUKA melihat kamu pun hanya sekedar guyon kecil dengannya. AKU MEMEBENCINYA. Yasudah, aku menyerah. Aku mengetakannya padamu dengan suara yang malu-malu dan sedikit geram. Kamu meminta maaf. Ya; kita berbaikan dan ternyata tetap saja aku rindu pun seusai kita bertemu.

Karena merindukanmu itu seperti menghitung pasir di pantai. Tidak akan pernah habis.

Surabaya.

Monday 5 May 2014

Tegurannya, menyadarkan. Terimakasih teman.

Saya ini orangnya memang tidak bisa diam. Suara juga bukan besar lagi namun sangat besar dan keras. Saya menyukai hal-hal yang ramai. Bagi saya ketika saya diam ada dua kemungkinan yaitu kemungkinan pertama saya lapar dan kemungkinan kedua saya dilep. Saya selalu ingin menjadi "peramai" diantara teman-teman saya. Entah apa yang membuat saya menginginkan hal yang demikian.

Kejadiannya kemarin tanggal 5 Mei 2014. Iya; waktu itu saya sedang dikelas bersama teman-teman saya. Ya namany juga saya, saya ini orangnya kan ndak bisa diam ya, yaudah saya bikin gaduh saja. Saya sumpek kalau harus melihat teman-teman saya diam begitu. Tanpa merasa berdosa saya mencandai teman-teman saya. Nah! Saya tidak tahu jika ada salah sattu teman sekelas saya (baca: dia tidak ikut dalam daftar orang yang saya candai). Saya juga tidak tahu kapan dia masuk kelas dan duduk untuk membaca buku. Mungkin karena dia merasa terganggu dengan suara keras saya, dia memilih pergi dan duduk di luar. Sekali lagi, saya tetap tidak sadar dan saya mencoba menengok keluar untuk mencandai beberapa teman saya yang berada di luar. Nah! Saya dengan santainya mengajak diantara mereka bercanda dan mereka menanggapi namun teman saya yang mungkin merasa terganggu dengan suara saya tadi menegur saya.

 Begini tegurannya : "Bunga ini badannya udah gede, suaranya juga gede. Sumpah ndak suka aku sama bunga". 

Awalnya saya masih senyum-senyum saja. Namun setelah itu saya diam mencoba mencerna kata-kata teman saya tersebut. Yasudah, saya menjadi diam setelah itu. Saya takut suara saya mengganggu yang lain juga.
Terima kasih atas tegurannya, dari situ saya dapat belajar bagaimana menghargai orang lain. Terimakasih juga atas kata-katanya setidaknya saya mencerna dengan sangat baik hingga saat ini. :)

SURABAYA. 
"tentang menghargai oranglain"

Friday 2 May 2014

Aku (Pencemburu paling setiamu)

Saya sering tidak mengerti dengan apa yang saya rasakan sendiri. Terkadang saya melihat kamu sebagai sosok yang amat sangat saya kenal. Terkadang pula saya melihat kamu seperti sosok yang sama sekali belum aku kenal. Saya sering sedih dan sebal saat saya mulai mencemburuimu, saya merasa bahwa saat saya cemburu padamu saya ini bukan siapa-siapa untukmu. Kadang pula saya merasa berada dititik terendah hidup saya, saya menangisi segala hal yang hanya menjadi ketakutan saya. 

Tentang ketakutan ini, saya rasa kamu telah mengatahuinya. Saya sering berkata ke kamu bahwa saya teramat takut untuk kehilangan kamu. Saya selalu merasa rendah diri ketika saya melihat banyak orang yang mengagumimu. Selalu, kamu tak mempercayai perkataan saya tentang banyaknya orang yang mengagumimu. Kamu selalu merasa bahwa kamu tak memiliki apa-apa. Namun, ketahuilah banyak hal menarik darimu, sayang. Hal-hal itulah yang membuat saya takut kehilangan kamu secara penuh. Saya begitu dalam masuk ke hidupmu. Saya telah nyaman berada di tempat yang telah kamu sediakan sekarang; hatimu.

Saya telah menjadi pencemburu setiamu. 

Kediri. 
"..catatan kecil sore hari dikala rindu.."

Kau Puisiku

Kau
Puisi yang saat ini sedang aku tulis
Kau
Puisi yang setiap sujudku kubacakan dengan Tuhan
Kau
Puisi yang selalu aku banggakan didepan orangtuaku
Kau
Puisi yang bersajak rindu dan cemburu
Kau
Puisi yang setiap hari tak hentinya ku aksarakan dengan rasa
Kau
Puisi yang tak hentinya kudengarkan, kutuliskan dan kubacakan

Entah
Adakah puisi yang lebih indah yang bisa kubuat
Selainmu, selain tentangmu
Entah
Adakah puisi yang termanis yang bisa kurasakan
Selainmu, selain bersamamu
Entah
Adakah puisi yang tak henti kuperbincangkan denganNya
Selainmu, selain namamu

Iya; Karena KAU PUISI.

Kediri. 2 Mei 2014
"Kau Puisi"

Tuesday 29 April 2014

Mencintaimu (Nyeri)

Mencintaimu itu seperti dilep yang menyiksa perutku setiap bulan. Betapa tidak, ketika hatiku harus merasakan nyeri yang sama sakitnya dengan nyeri datang bulan, iya; ketika cemburu. Ketika cemburu aku harus merasakan nyeri di ulu hati. Aku memang tidak suka melihat kamu dekat dengan wanita lain pun wanita itu adalah teman dekatku sendiri. Entah cemburuku ini sudah bisa disebut cemburu akut yang memang tak bisa disembuhkan atau ini hanya kelabilan anak remaja yang baru menginjak usia 18 tahun beberapa bulan yang lalu.

Untuk merasakan dilep yang begitu menyiksa aku sudah siap obat anti nyeri saat haid. Namun ketika aku harus merasakan cemburu? Adakah obat yang bisa menghilangkan sakitnya?. Aku selalu berusaha meredam sakitnya cemburu dengan menulis dan tidur. HAHA! nyatanya? selalu tak berhasil menghilangkan ketakutanku. Aku terlampau takut jika saja kamu tertarik kepada wanita lain yang mungkin lebih segalanya dari aku. 

Tentang siapa aku, kau tentu tahu bahwa aku hanya seorang anak umur 18 tahun yang masih suka menangis dan marah tiba-tiba. Aku hanya anak yang memiliki tubuh tiodak langsing, hidung tidak mancung, dan segala hal yang tak diinginkan oleh wanita seusiaku tentunya. KESEMPURNAAN, haruskah dengan nilai fisik?. Awalnya aku begitu minder dengan apa yang aku miliki. Namun ibu selalu berkata padaku :

"Ndak boleh menyesali apa yang telah dimiliki, toh cantik itu bukan dari luar. Adek tetep cantik kalau adik suka tersenyum dalam keadaan seburuk apapun. Semua itu ada kurang dan lebihnya. Semua ada saat naik dan turunnya. Adek tak perlu takut. Adek tetep gadis kecilnya ibu. You're my princess darling"

Selalu kata-kata itu yang membuat aku bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan olehku. Sampai pada titik kulminasi, aku harus merasakan titik terendah dari diriku ketika aku menganggap kedekatanmu dengan teman wanitamu itu terlampau jauh. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, aku juga tidak tahu. Ini aku alami setiap aku melihat kamu bercanda dengan dia. Aku merasakan bahwa aku ini bukan siapa-siapa. Aku memang tidak cantik. Aku juga tidak sempurna secara fisik. Tapi, akan kupastikan, dalam hal mencintaiku akulah pememang yang akan kau perjuangkan kelak.

SURABAYA. April 2014
"Ruang Aplikom"


Monday 28 April 2014

Silahkan Menggoda Kekasihku, Jika...

"Silahkan menggoda kekasihku jika dia tergoda maka akan kuucapkan padamu beribu terimakasih karena kamu telah menunjukkan orang yang tidak tepat untuk ku. Silahkan menggoda kekasihku jika dia TIDAK tergoda maka akan kusampaikan pula beribu terimakasih karena kamu telah menunjukkan orang yang pantas meminangku"

Ketahuilah kekasih, betapa sering aku cemburu padamu. Namun entah karena apa, aku tak mampu mengungkapkannya padamu. Aku selalu bisu. Aku selalu tiba-tiba menjadi orang goblok yang hanya tersenyum dengan hati yang tergerus rasa cemburu. Aku selalu merasa menyesal karena aku tak mengungkapkan cemburuku padamu. Aku selalu merasa menjadi wanita paling bodoh ketika mulutku dengan aman terkunci tanpa mengucap satu patah katapun. 

Kau tahu? Betapa sering aku tiba-tiba kehilangan moodku hanya karena aku tak suka melihat kau didekati oleh wanita lainnya. Betapa sering aku tiba-tiba cuek kepadamu? iya, itu karena aku juga sedang cemburu. Aku sadar, aku tahu dan paham bahwa aku memang tak ada baiknya dibanding dengan wanita lainnya. Aku? aku hanya anak umur 18 tahun yang masih suka merajuk ketika meminta sesuatu, masih senang membanting dan melempar sesuatu ketika marah, masih hobby membaca majalah dongeng ketika libur atau hari minggu. Iya; aku tak bisa  berdandan. Pakaianku hanya kaos dan rok yang kukenakan seadanya. Aku tak bisa bersolek. Mukaku selalu dipenuhi minyak ketika siang, keringat juga selalu mengucur deras di pelipis mataku ketika aku kegerahan. 

Aku sering sekali bertanya pada diriku sendiri. Kutatap cermin di depanku,

 "Apakah kau sudah mampu berkasih, nak?" kataku dalam hati. 

Melihat betapa besar pipiku, aku tersenyum. Ibu selalu mengatakan padaku 

"Nduk, kamu ini masih kecil dan akan selalu menjadi gadis kecilnya ibu"

Terkadang aku memang tak suka jika ibu berkata demikian ketika aku bercerita atau sekedar bincang-bincang tentang hubunganku dengan kekasihku.

Kekasihku adalah orang yang sangat simpel. Jauh lebih simpel dari kalimat simple present tense. Namun sungguh, aku mencintainya dari apa-apa yang telah diciptakan oleh Nya. Aku tidak mampu membuat alasan kenapa aku jatuh cinta kepadanya ketika banyak orang diluar sana yang bertanya:

"Kamu? Beneran kamu sayang sama dia?"

Aku hanya tersenyum. Bagiku, kekasihku adalah segala hal yang tak terdefinisikan oleh kata-kata. Aku mencintainya. Sering sekali ketika aku sedang berada dilingkungan kampus, teman-teman wanitanya menitipkan salam padanya. Aku boleh cemburu? Kurasa aku tidak berlebihan jika aku cemburu. Kejadian seperti sering sekali membuat aku bertengkar sendiri dengan hatiku. Aku sebenarnya cemburu. Aku tidak menyukai banyak wanita yang mencoba menitipkan salam padanya, duduk disampingnya, sekedar mengobrol dengannya, sekedar nongkrong dengannya. AKU TIDAK SUKA!. 

Namun aku bisa apa?. Mulutku selalu mengatup tak berdaya jika sedang bersamanya. Aku selalu tak mampu mengungkapkan kecemburuanku padanya. Yang sering aku lakukan hanya mengucapka kata-kata "Silahkan menggoda kekasihku jika dia tergoda maka akan kuucapkan padamu beribu terimakasih karena kamu telah menunjukkan orang yang tidak tepat untuk ku. Silahkan menggoda kekasihku jika dia TIDAK tergoda maka akan kusampaikan pula beribu terimakasih karena kamu telah menunjukkan orang yang pantas meminangku"  . Setidaknya kata-kata itu sedikit membuatku tenang dan  yakin jika kekasihku akan selalu memegang erat janjinya.

SURABAYA. 28 April 2014
"Untuk Siapa Saja Yang Berusaha Menggoda Kekasihku"



Saturday 26 April 2014

Tugas, Kartu Provider dan Rindu

Aku terkantuk-kantuk menatap layar komputer jinjing yang sejak tadi pagi menamaniku. Bukan begitu sebenarnya, aku memang sedang mengerjakan tugas yang sedemikian banyak sehingga mataku 'diperkosa' untuk menatap layar laptop ini lebih lama hari ini. Aku mengguman dalam  hati, kenapa harus semuanya membutuhkan latop ini. Aku capek, bukan bukan! lebih tepatnya mataku. Aku mulai bosan. Bagaimana tidak? sejak tadi pagi aku telah bergumul dengan laptop yang kira-kira sudah 3 tahun lebih menemaniku dalam suka maupun duka (sumpah yang ini lebay badai). 

Oke. Kembali pada fokus. Mataku mulai tidak bersahabat dengan layar kotak berwarna dan tombol-tombol huruf yang harus aku pencet-pencet demi mendapatkan sebuah kata yang runtut. Bosan. Aku memutuskan merebahkan badanku sebentar, Lamat-lamat aku menatap langit-langit kamar kos ku yang sumpek. Aku teringat pada benda kecil yang biasa aku sebut hape yang dari tadi tak bersuara sama sekali. Maklum provider yang aku gunakan mengalami perbaikan sinyal. Sial ! aku tak mendapat satu pesan singkat dari orang yang sejak tadi aku tunggu. Iya, benar. Kekasihku. Aku mencoba memencet nomor bertuliskan namanya (tentu bukan nama sebenarnya, bukan?). Dan lagi-lagi suara cewek terdengar sangat menyebalkan, aku tak mungkin cemburu pada cewek ini bukan?. Iya; mbak-mbak operator yng selalu setia dan mau saja disuruh berbicara "Maaf nomer yang anda hubungi sedang berada diluar jangkauan" berkali-kali. Diluar jangkauan bathukmu ? Gang 5 dan gang 9 kan tidak jauh? Ada-ada saja memang ulah provider jika ingin  menaikkan tarif telefon atau smsnya. 

Yasudah. Saya menyerah pada keadaan. Kembali lagi saya menoleh pada laptop yang masih setia menyala dengan iringan lagu dari Bryan McKnight yang membuat saya sebenarnya sangat ingin memejamkan mata. Namun tugas telah berkuasa atas diri saya, mau tidak mau saya harus tunduk padanya. Jemari saya yang memang kurang lentik ini mencoba menari diatas tombol-tombol keyboard laptop saya. Saya kerjakan satu demi satu tugas yang telah membelenggu saya akhir-akhir ini. 

Satu jam kemudian. Selesai? TIDAK SAMA SEKALI. Justru pikiran saya tidak terfokus pada tugas yang sedang bertatapan dengan saya. Iya; saya kembali melihat layar hape saya yang memang sepi sekali dengan penuh sarang laba-laba disana (yang ini gak bener). Saya memang mengambil ponsel namun saya mengurungkan niat saya untuk menghubunginya karena saya tahu bahwa lagi-lagi suara perempuan itu yang mengangkatnya. Mbak Operator yang setia dengan kalimat-kalimatnya. 

Sebenarnya saya rindu. Namun  sepertinya provider yang saya gunakan tidak mengerti tentang rindu. Mungkin dia hanya mengerti tentang prinsip ekonomi. Yasudah, bisa apa saya? Akhirnya saya memutuskan merebahkan diri dan memeluk guling dengan muka yang mengenaskan dan smpai pada akhirnya saya tertidur pulas hingga saya menyelesaikan tulisan ini.

Surabaya. Minggu Siang
12:49 WIB

5 Bulan Bersamamu

Aku tak pernah tahu dan tak menyangka bisa tetap menggandeng tanganmu hingga sekarang. Bisa tetap memeluk tubuhmu hingga saat ini. Bisa tetap cemburu padamu ketika kau didekati oleh siapa saja (cewek). Bisa tetap menikmati amarahmu yang tiba-tiba ketika kau tak senang dengan apa yang aku lakukan. Bisa tetap menikmati indah lengkung senyummu ketika tersenyum. Bisa tetap merasakan hangat cium yang kau daratkan tepat di keningku. Segalanya masih tetap sama seperti awal dari kata "KITA".

26 November 2013. Tahun lalu. Aku saat itu memang sedang tak tau apa-apa yang sedang aku rasakan padamu. Segalanya indah menurutku. Rasanya hebat ketika dadaku berdesir melihatmu. Segalanya indah ketika Tuhan mulai menitipkan dan menanam rasa ini padamu. Sampai pada akhirnya kau pun ternyata memiliki rasa yang sama. Iya; tepat lima bulan yang lalu. Sore itu, bahkan aku masih mengingat detail kejadian mengharukan sekaligus membahagiakan yang menjadi awal perjalanan kita. Tepat puku 15.10 WIB di tangga kampus kita, kau mengungkapkan segala apa yang kau rasa. Aku terkejut ketika kau mengatakan hal itu. Namun entah kekuatan apa yang sedang ada padaku, aku tak dapat mengelak jika aku dan kau memang memiliki rasa yang sama. Iya; Cinta. 

Awal perjalanan kita dimulai. Awalnya hari-hari kita memang indah namun tak dapat dipungkiri jika dalam suatu hubungan timbul pertengkaran bahkan perbedaan pendapat. Aku dan kau sering melakukan ini, bukan?. Aku sering membuatmu kesal dengan perbuatanku yang terkadang lepas kontrol dengan orang lain. Bahkan kau menilai bahwa aku lebih lepas ketika tertawa saat aku bersama orang lain. Dan saat begini kau lebih memilih diam. Ya; aku menyebutnya marah. Hal-hal semacam inilah yang ternyata dapat menguatkan kasihmu padaku. Aku sadar, kau begitu menyayangiku hingga kau tak mau hal paling sensitifku (hati) tersentuh oleh orang lain dan aku menghargai itu. Bahagia telah menjadi kata yang selalu aku ucapkan ketika aku dengan diam-diam menatap wajahmu. 

Tak jarang ketika sujudku disepertiga malam, aku membawa namamu di dalam doaku. Aku telah merancang hal-hal indah di masa depan; bersamamu. Aku ingin terus menjadi penyebabmu bahagia. Aku tak pernah tau apa yang Tuhan rencanakan. Namun aku harap Ia tersenyum ketika melihat kita yang tetap berjuang bersama.

Surabaya. 26 April 2014
"Secuil Kisah Bahagia yang akan utuh pada masanya"

Mengajarkan; Hati

Mengajarkan pada hati
Dimana ia harusnya menempatkan diri
Bukan menghanyutkan diri pada awan
Bukan menenggelamkan diri pada panas matahari
Atau menyandarkan diri pada indah lingkar pelangi

Ya Rabb
Dalam sujudku
Ku mohon padamu
Jika ini memang jalanku
Lapangkanlah hatiku

Surabaya.

Melipat Rindu

Tak ada yang berbeda dari tatapanmu dan senyummu padaku pagi itu. Segalanya masih sama. Indah jika kita sedng berdua dalam suka. Seperti biasa kau mencandaiku dengan gaya khasmu yang jahil dan akupun sebaliknya, tetap saja tergoda olehmu walaupun candaanmu selalu kau ulang setiap harinya. Iya: aku tak pernah merasa bosan dengan candaanmu,

Tapi semuanya berubah. Tawamu lenyap. Candaanmu hilang. Kau diam. Ketika pada tengah percakapan hangat kita aku bilang padamu bahwa aku akan "meninggalkanmu" segera. Cepat atau lambat kau tak akan melihat wajahku yang bundar katamu. Pipiku yang kenyal. Dan bibir monyongku. Aku memang harus pergi. Jujur, ini bukan mauku. Ini keinginan orangtuaku dan kewajiban bapakku sebagai salah satu kepala divisi yang harus siap dipindh tugaskan kemana dan kapan saja.

Awalnya aku tak ingin kau mengetahui dahulu namun toh aku pikir cepat atau lambat kau pasti tahu tantang hal ini. Aku merasa bersalah ketika sebenarnya aku telah melanggar janjiku untuk tetap bersamamu. Bukan hanya kau yang sedih, sayang. Aku juga sangat sedih mendengar kabar yang entah harus kukategorikan sebagai kabar baik atau buruk ini. 

Aku sadar bahwa beberapa bulan lagi, aku tak bisa memeluk tubuh tinggimu, aku tak bisa lagi menjambak rambutmu. Mencium pipimu. Membuatmu marah dan cemburu. Dan aku tak bisa lagi  mengungkapkan rinduku melalui senyum malu-malu setelah kau cium. Aku harus melipat rindu diantara kertas-kertas tugas, berkas pindahan, foto dalam dompet dan tiket nonton bioskop yang baru beberapa hari lalu kita beli. 

Rindu yang aku miliki harus kulipat kecil-kecil dalam jarak ratusan kilometer. Iya; melipat rindu.

Surabaya, 26 April 2014
Untuk kau yang bersedia menangis untukku

Tuesday 15 April 2014

Aqqqoooe CiendTa QaM00oeh



Aqqqoooe
Aqqqoooe
Aqqqoooe
Aqqqoooe
Aqqqoooe..............

CiendTa
CiendTa
CiendTa
CiendTa
CiendTa ................

QaM00oeh
QaM00oeh
QaM00oeh
QaM00oeh
QaM00oeh...............

Saturday 12 April 2014

Memeluk Bayangmu

Pagi ini bayanganmu kembali menggodaku. Meringsek masuk kedalam selimut hangatku. Kau memang  selalu tahu ketika aku sedang rindu. Seperti pagi ini, aku malas sekali untuk keluar dari selimut hangatku. Surabaya memang hujan kemarin malam, hawa dinginnya masih terasa hingga sekarang. Aku enggan menghiraukan terikan teman-teman kost ku yang mencoba mengganggu tidurku.

Mereka tak mengerti. Mereka tak mengetahui bahwa aku sedang bercumbu dengan bayanganmu di bawah selimut. Aku sedang bermain-main dengan bayanganmu. Aku dan bayanganmu sedang saling membelai menunjukkan kasih sayang yang 'kita' miliki. Betapa indah pagi ini.

Sesekali bayanganmu menggodaku. Menggigit dan meniup-niup bagian sensitifku. Tak mau kalah, aku membalasnya. Sesekali kuberi kecupan kecil di atas bibir. Hangat. Bahkan semakin panas ketika kita berdua sama-sama dibelenggu nafsu. Aku tak dapat mengendalikan diriku. Aku terlanjur jauh jatuh dalam pelukanmu. Aku tak dapat melepaskan bayanganmu begitu saja. Aku terlanjur menikmatinya.

Setelah lama kita bercumbu kesana-kemari. Aku melepaskan pelukanku. Aku lelah. Aku ingin istirahat. Namun bayanganmu selalu tahu bagaimana harus berbuat ketika aku lelah. Kembali, bayangmu menggodaku. Bayangmu memeluk hangat tubuhku. Ini yang aku sebut pelukan paling tulus diantara pelukan lainnya. Iya; tak perlu bertemu namun setiap detak jantungku selalu mendoakan dengan menyebut namamu.

Aku rindu.

Sungguh aku ingin menangisi diriku sendiri ketika aku sadar aku hanya mampu bercumbu dengan bayangmu pagi ini. Kita tak bertemu. Aku merindukanmu. Iya; sangat merindukanmu. Sungguh aku tak peduli seberapa sering aku bertemu denganmu. Sungguh aku tak peduli baru berapa lama kita berpisah. Rindu tetaplah rindu. Tak mengenal jarak dan waktu.

Melalui bayangmu, rinduku tersampaikan pada hatimu.

SURABAYA, 2014
"Memeluk Bayangmu"

Senyummu, Bayangmu dan Secangkir Kopi

Terimakasih kau telah hadir kembali
Setelah hujan tadi aku sendiri
Meringkuk sepi dalam secangkir kopi
Kini tidak lagi

Ada yang berbeda kali ini
Senyummu begitu manis tadi pagi
Tergambar jelas dalam secangkir kopi ini
Menggodaku untuk segera mencicipi

Dan kunikmati
Benar, begitu manis sekali
Serasa melayang kembali
Seperti kemarin pagi
Saat kau disini; secangkir kopi

Kunikmati
dan terus kunikmati
Dalam secangkir kopi ini
Agar aku tak lagi merasa sepi

Setiap pagi
Aku ingin menyulamnya
ditemani dengan bayangmu
Yang tergambar jelas dalam secangkir kopi

Surabaya, 14 April 2014
"Secangkir Kopi"

Tuesday 25 March 2014

Sampai Batas

Hari ini tepat seminggu setelah ualang tahunku. Aku sungguh tidak menyangka bahwa aku akan melukai hatimu lagi. Aku selalu mencoba berfikir dua kali dalam bertindak. Tapi, hari ini aku tidak habis pikir atau memang pikiranku sudah habis? Entahlah. Aku membuatmu terluka kembali. Aku membuatmu kembali merasakan nyeri di ulu hati. Aku membuatmu bungkam lagi.

Jujur, aku bingung atas semua sikapmu tadi. Aku mencoba memilah lagi apa ada perbuatanku yang sangat menyakitimu hingga kau tega begini. Diam. Iya; kau memilih bungkam. Aku mencoba mengerti. Aku mencoba memahami kembali. Lamat-lamat sembari menulis catatan di buku kecilku, aku mengingat semua perbuatan yang aku lakukan di kampus tadi. Jika melihat dari apa yang kau posting dalam akun jejaring sosialmu, aku tahu bahwa kau sedang cemburu. Namun entah aku yang begitu bandel atau aku yang begitu terlalu hati-hati hingga aku menggoreskan luka lagi; di hatimu.

Senja telah datang menghampiri. Aku menatap jendela yang terdapat di sudut kamar kos ku. Aku melihat semburat cahaya kuning ke jinggaan menerobos mencoba mencar celah untuk masuk melalui jendela tersebut. Aku bangkit. Melihat ke luar kearah langit yang jingga. Perasaanku sungguh tak karuan. Andai sekarang kita tak saling diam. Andai sekarang kita tak berada da;am batas keegoisan. Aku ingin menceritakan betapa indah senja sore ini.

Lupakan masalah senja. Kini, malam yang kurasa kian membabat habis seluruh sum-sum dalam tulangku. Mencekik tenggorokanku yang bermasalah karena batuk berdahakku. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa padamu karena cemburumu padaku. Aku sungguh tak ingin kau diam seperti ini namun aku lebih tak ingin memulai pertengkaran lagi denganmu. Aku memilih diam, sama sepertimu. Aku mencoba mengoreksi kembali kesalahanku. Aku memandang lampu belajar di atas meja kamar kos ku. Tak sengaja kulihat sebuah lukisan tentang aku dan kamu (hadiah ulang tahunku kemarin  darimu) bertengger kokoh di atas lampu belajarku. Senyuman itu; KITA. 

Pertahananku mulai rapuh ketika ku lihat lukisan itu. Aku tersenyum. Air mata keluar dengan sendirinya tanpa aba-aba. Aku berucap dalam hati "Selamat malam sayang, betapa diammu adalah siksaan bagiku. Betapa aku begitu bodoh ketika aku menyakitimu. Betapa buruk aku ketika esok harus berada di hadapanmu dengan kesalahanku. Betapa aku yang tak tau diri ini berani berucap dan membatin dalam hati tentang diam kita". Tenyata aku telah sampai batas pertahananku untuk diam kepadamu namun sekali lagi aku tak ingin memulai pertengkaran denganmu.

Surabaya, 25 Maret 2014
"Untuk diammu dan diamku; diam KITA"

Saturday 22 March 2014

Jalan Keluar Terakhir; Menangis.

Ini bukan tentang kepergian
Bukan tentang sebuah perpisahan yang menyakitkan
Ini juga bukan tentang angan yang tak tersampaikan
Bukan pula tentang pengharapan yang menyesakkan

Ini tentang pertengkaran
Kecil? Besar? Sedang?
Entahlah, aku tak tahu
Yang jelas ini menyakitkan

Bukan hanya aku yang merasakan
Mungkin, kau juga demikian
Pertengkaran, cekcok kecil, salah paham
Selalu kita lakukan

Sebenarnya kita sama-sama tahu
Kita sama-sama mengerti
Oleh sebab apa kita begini
Iya; Rasa tak mau kehilangan satu sama lain bukan?

Aku cukup paham
Kurasa kaupun juga demikian
Aku cukup sabar
Kurasa kaupun lebih sabar dari aku

Kasih
Sungguh pertengkaran ini menyiksa
Aku terkungkung oleh rasa takutku sendiri
Jalan keluar satu-satunya tak dapat aku elakkan
Iya; menangis
Jalan keluar terakhir tak dapat aku pungkir
Iya; menangis

Katamu "Kita bukan dewa, menangislah"
Aku selalu lega ketika kau memperbolehkan aku menangis
Sesenggukan suaraku di ujung telepon
Begitu pula suaramu, serak sesak menahan tangis
Aku tahu kau mencoba kuat dihadapanku
Namun aku lebih tahu bahwa kau lebih rapuh
Iya; lewat airmatamu

23 MARET 2014, Surabaya
"Untuk KITA yang menangis bersama"

Friday 21 March 2014

Termakan Siang; Sendirian.

Hello Matahari.

Hari ini gerah, pengap. Terutama yang aku rasakan ketika aku memasuki sebuah kamar berpetak kecil dengan satu jendela di ujung ruangannya. Iya; banyak yang menyebut ini adalah kamar kos. Seusai lari tadi pagi, aku tidak langsung mandi namun aku lebih memilih masuk ke dalam kamar untuk sekedar berbaring melepas penat. Aku mengalihkan pandangan kepada benda kecil yang sering disebut handphone olah kaum remaja sekarang. Dengan seulas senyum kelelahan kuperiksa layar pada handphone ku. Aku memang berharap sekali ada sebuah pesan singkat masuk dan menyapaku dengan ucapan "Selamat Pagi Sayang" dari kamu, iya; kamu yang aku kasihi. Namun harapanku sia-sia. Mungkin aku telah lupa, bahwa kamu sangat membenci pagi, kamu selalu terlelap pada pagi hari seperti ini. Aku hanya tersenyum melihat harapan konyolku. Ku letakkan kembali handphone yang sedari tadi ku genggam. Aku beranjak menuju meja kecil yang terpasang cermin dicelahnya. Aku melihat lamat-lamat wajah bodohku. Wajah kelelahanku. Aku merasa, betapa bodoh diriku saat ini yang mengharapkan ucapan selamat pagi dari kamu yang jelas-jelas persetan dengan pagi. 

Baiklah, lupakan kejadian dan harapan bodohku pagi tadi. Kini matahari kembali sombong dengan sinar megahnya. Aku selalu berucap dalam hati bahwa betapa Esa tuhan yang telah menciptakan cahaya yang tak akan ada habisnya. Iya, ini siang. Aku tak tahu harus melakukan apa. Karena memang hari ini tak ada kuliah. Aku hanya berdiam diri di dalam kamar sempit nan pengap ini. Hal pertama yang menggodaku untuk berbuat sesuatu adalah sebentuk benda yang sering disebut buku dan alat tulis yang sering disebut bolpoin. Aku tergoda untuk menjamahnya. Aku mengambil benda-benda tersebut, lalu aku mencoba menuliskan apa yang sedang aku rasakan. Namun sangat disayangkan, benda-benda ini tak berhasil menghiburku. Aku tetap tak bisa mengalihkan pikiranku kepada apapun. Pikiranku tetap dipenuhi oleh kamu yang hingga siang yang sangat jalang ini datang menghampiriku tetap tak ada kabar untukku. Aku mencoba melihat kembali handphone yang tergeletak lunglai di meja. Nihil!. Tak ada satu pesan pun dari kamu. Aku sangat takut pada siang yang seperti ini. Menunggu kabarmu yang tak pasti. Aku kau biarkan termakan siang; sendirian.

Surabaya. 22 Maret 2014
Kamar Kos, Lidah Wetan