Tuesday 25 March 2014

Sampai Batas

Hari ini tepat seminggu setelah ualang tahunku. Aku sungguh tidak menyangka bahwa aku akan melukai hatimu lagi. Aku selalu mencoba berfikir dua kali dalam bertindak. Tapi, hari ini aku tidak habis pikir atau memang pikiranku sudah habis? Entahlah. Aku membuatmu terluka kembali. Aku membuatmu kembali merasakan nyeri di ulu hati. Aku membuatmu bungkam lagi.

Jujur, aku bingung atas semua sikapmu tadi. Aku mencoba memilah lagi apa ada perbuatanku yang sangat menyakitimu hingga kau tega begini. Diam. Iya; kau memilih bungkam. Aku mencoba mengerti. Aku mencoba memahami kembali. Lamat-lamat sembari menulis catatan di buku kecilku, aku mengingat semua perbuatan yang aku lakukan di kampus tadi. Jika melihat dari apa yang kau posting dalam akun jejaring sosialmu, aku tahu bahwa kau sedang cemburu. Namun entah aku yang begitu bandel atau aku yang begitu terlalu hati-hati hingga aku menggoreskan luka lagi; di hatimu.

Senja telah datang menghampiri. Aku menatap jendela yang terdapat di sudut kamar kos ku. Aku melihat semburat cahaya kuning ke jinggaan menerobos mencoba mencar celah untuk masuk melalui jendela tersebut. Aku bangkit. Melihat ke luar kearah langit yang jingga. Perasaanku sungguh tak karuan. Andai sekarang kita tak saling diam. Andai sekarang kita tak berada da;am batas keegoisan. Aku ingin menceritakan betapa indah senja sore ini.

Lupakan masalah senja. Kini, malam yang kurasa kian membabat habis seluruh sum-sum dalam tulangku. Mencekik tenggorokanku yang bermasalah karena batuk berdahakku. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa padamu karena cemburumu padaku. Aku sungguh tak ingin kau diam seperti ini namun aku lebih tak ingin memulai pertengkaran lagi denganmu. Aku memilih diam, sama sepertimu. Aku mencoba mengoreksi kembali kesalahanku. Aku memandang lampu belajar di atas meja kamar kos ku. Tak sengaja kulihat sebuah lukisan tentang aku dan kamu (hadiah ulang tahunku kemarin  darimu) bertengger kokoh di atas lampu belajarku. Senyuman itu; KITA. 

Pertahananku mulai rapuh ketika ku lihat lukisan itu. Aku tersenyum. Air mata keluar dengan sendirinya tanpa aba-aba. Aku berucap dalam hati "Selamat malam sayang, betapa diammu adalah siksaan bagiku. Betapa aku begitu bodoh ketika aku menyakitimu. Betapa buruk aku ketika esok harus berada di hadapanmu dengan kesalahanku. Betapa aku yang tak tau diri ini berani berucap dan membatin dalam hati tentang diam kita". Tenyata aku telah sampai batas pertahananku untuk diam kepadamu namun sekali lagi aku tak ingin memulai pertengkaran denganmu.

Surabaya, 25 Maret 2014
"Untuk diammu dan diamku; diam KITA"

Saturday 22 March 2014

Jalan Keluar Terakhir; Menangis.

Ini bukan tentang kepergian
Bukan tentang sebuah perpisahan yang menyakitkan
Ini juga bukan tentang angan yang tak tersampaikan
Bukan pula tentang pengharapan yang menyesakkan

Ini tentang pertengkaran
Kecil? Besar? Sedang?
Entahlah, aku tak tahu
Yang jelas ini menyakitkan

Bukan hanya aku yang merasakan
Mungkin, kau juga demikian
Pertengkaran, cekcok kecil, salah paham
Selalu kita lakukan

Sebenarnya kita sama-sama tahu
Kita sama-sama mengerti
Oleh sebab apa kita begini
Iya; Rasa tak mau kehilangan satu sama lain bukan?

Aku cukup paham
Kurasa kaupun juga demikian
Aku cukup sabar
Kurasa kaupun lebih sabar dari aku

Kasih
Sungguh pertengkaran ini menyiksa
Aku terkungkung oleh rasa takutku sendiri
Jalan keluar satu-satunya tak dapat aku elakkan
Iya; menangis
Jalan keluar terakhir tak dapat aku pungkir
Iya; menangis

Katamu "Kita bukan dewa, menangislah"
Aku selalu lega ketika kau memperbolehkan aku menangis
Sesenggukan suaraku di ujung telepon
Begitu pula suaramu, serak sesak menahan tangis
Aku tahu kau mencoba kuat dihadapanku
Namun aku lebih tahu bahwa kau lebih rapuh
Iya; lewat airmatamu

23 MARET 2014, Surabaya
"Untuk KITA yang menangis bersama"

Friday 21 March 2014

Termakan Siang; Sendirian.

Hello Matahari.

Hari ini gerah, pengap. Terutama yang aku rasakan ketika aku memasuki sebuah kamar berpetak kecil dengan satu jendela di ujung ruangannya. Iya; banyak yang menyebut ini adalah kamar kos. Seusai lari tadi pagi, aku tidak langsung mandi namun aku lebih memilih masuk ke dalam kamar untuk sekedar berbaring melepas penat. Aku mengalihkan pandangan kepada benda kecil yang sering disebut handphone olah kaum remaja sekarang. Dengan seulas senyum kelelahan kuperiksa layar pada handphone ku. Aku memang berharap sekali ada sebuah pesan singkat masuk dan menyapaku dengan ucapan "Selamat Pagi Sayang" dari kamu, iya; kamu yang aku kasihi. Namun harapanku sia-sia. Mungkin aku telah lupa, bahwa kamu sangat membenci pagi, kamu selalu terlelap pada pagi hari seperti ini. Aku hanya tersenyum melihat harapan konyolku. Ku letakkan kembali handphone yang sedari tadi ku genggam. Aku beranjak menuju meja kecil yang terpasang cermin dicelahnya. Aku melihat lamat-lamat wajah bodohku. Wajah kelelahanku. Aku merasa, betapa bodoh diriku saat ini yang mengharapkan ucapan selamat pagi dari kamu yang jelas-jelas persetan dengan pagi. 

Baiklah, lupakan kejadian dan harapan bodohku pagi tadi. Kini matahari kembali sombong dengan sinar megahnya. Aku selalu berucap dalam hati bahwa betapa Esa tuhan yang telah menciptakan cahaya yang tak akan ada habisnya. Iya, ini siang. Aku tak tahu harus melakukan apa. Karena memang hari ini tak ada kuliah. Aku hanya berdiam diri di dalam kamar sempit nan pengap ini. Hal pertama yang menggodaku untuk berbuat sesuatu adalah sebentuk benda yang sering disebut buku dan alat tulis yang sering disebut bolpoin. Aku tergoda untuk menjamahnya. Aku mengambil benda-benda tersebut, lalu aku mencoba menuliskan apa yang sedang aku rasakan. Namun sangat disayangkan, benda-benda ini tak berhasil menghiburku. Aku tetap tak bisa mengalihkan pikiranku kepada apapun. Pikiranku tetap dipenuhi oleh kamu yang hingga siang yang sangat jalang ini datang menghampiriku tetap tak ada kabar untukku. Aku mencoba melihat kembali handphone yang tergeletak lunglai di meja. Nihil!. Tak ada satu pesan pun dari kamu. Aku sangat takut pada siang yang seperti ini. Menunggu kabarmu yang tak pasti. Aku kau biarkan termakan siang; sendirian.

Surabaya. 22 Maret 2014
Kamar Kos, Lidah Wetan

Thursday 20 March 2014

Retak !

Sambut saja pagi ini dengan senang. Sapa matahari yang sangat setia pada kita dengan sinarnya. Aku seperti biasa, akan sangat merindukan senja saat pagi datang seperti ini. Namun apa daya yang kupunya, aku tak mungkin protes kepadaNya bukan?. Iya, sudahlah lupakan kejadian pagi ini. Aku tetap melangkahkan kaki menuju kampus seperti biasanya. Semangat, tentunya. Aku behagia karena aku hari ini akan bertemu denganmu. Iya; kamu yang terkasih. 

Kampus. Seperti biasa, suasana bising khas sekolah perguruan tinggi menyapa langkahku begitu aku masuk pada gerbang kampusku. Sebenarnya aku tidak ingin berangkat untuk mata kuliah yang satu ini. Namun, nyaliku tetap menciut jika aku harus bolos kuliah. Mau tidak mau aku harus berangkat. Baiklah, aku sampai di kampus dan seperti biasa, mataku mencari sosok yang sangat aku kasihi. KAMU. Namun mataku tak menemui sosokmu itu. Sudah berjam-jam berlalu, saat dosen datang, ternyata kamu berada tepat di belakang dosen mata kuliah tersebut. Betapa senang ketika melihatmu melangkahkan kaki dengan cueknya dan memilih duduk di sebelahku. 

Namun, aku bingung ketika melihat raut mukamu. Kamu terlihat murung tak bersemangat. Entah karena alergi semalam yang kau alami atau apa aku juga tak sempat menanyakannya padamu. Yang jelas aku tak berani menanyakan apapun karena aku takut jika aku salah bertanya padamu. Aku diam saja atas sikapmu. Yasudah, aku berfikir bahwa kamu sedang tidak bersemangat karena alergimu.

Kamu mungkin tak pernah tahu betapa aku selalu menyimpan sesutu yang retak ketika kamu dekat dengan wanita lain. Aku memang terlalu pengecut jika harus mengungkapkannya padamu. Sekali lagi aku takut menyinggung perasaanmu. Sesuatu yang retak itu (hati) selalu aku rasakan ketika aku melihatmu bersama dia. Yang aku tahu sebatas ini kamu dan dia hanyalah teman. Iya; teman. Aku tak pernah tahu bagaimana hubungan kalian di belakangku. Kalian nampak dekat. Iya; aku kerap kali merasakan cemburu kepada dia, yang ku sebut teman wanitamu. Aku sering sekali tiba-tiba menangis sesenggukan di kamar; sendirian karena melihat kedekatanmu dan dia. Sungguh segalanya retak seketika. Aku takut kamu berpaling dan meninggalkanku. Sungguh, itu ketakutan terbesarku.

Surabaya, 20 Maret 2014
RETAK !

Sunday 16 March 2014

Tentang Menunggu

Kembali. Saya terdampar pada ruang sempit. Pengap. Panas. Iya; kamar kos saya. Entah apa yang saya pikirkan saat ini. Pikiran saya sedang berkecamuk. Hati saya juga sedang tak tentu. Saya gelisah. Saya resah. Saya sedang menunggu kabar seseorang disana, seseorang yang sangat saya sayangi. Dia. Laki-laki yang sekarang telah menemani hari-hari saya. Saya menunggunya. Handphone yang saya letakkan di atas rak buku, saya tengok beberapa kali dan hasilnya tetap nihil. Dia tak kunjung memberikan kabar. Saya sempat ingin menghubunginya terlebih dahulu, namun rasa kesal saya membuat saya mengurungkan niat untuk menghubunginya terlebih dahulu.

Beberapa jam lewat setelah dia berpamitan untuk perjalanan. Saya sangat gusar dibuatnya. Jujur, saya sangat tidak suka menunggu kabar yang belum tentau datangnya. Bukan karena saya malas namun saya terlalu takut jika ada apa-apa terjadi padanya. Kembali saya cek handphone yang saya letakkan di atas rak buku tersebut. Tetap tak ada satupun sms masuk. Saya semakin gelisah. 

Sembari menghibur diri, saya menyalakan mp3 yang sengaja saya pelankan suaranya. Entah lagu apa yang saya putar. Yang jelas lagu-lagu itu telah menemani saya menuju alam bawah sadar dan akhirnya saya tertidur pulas. Ya; beginilah jika saya terlalu lama menunggu. Kadang saya senang menunggu namun tak jarang saya lebih memilih tidur daripada harus harap-harap cemas tentang kabar. 

Surabaya, 16 Maret 2014
Menunggu kabar

Saturday 15 March 2014

Untukmu Yang Tercinta

Kepada matahari yang telah berbaik hati memberikan sinar kemegahannya pada pagiku yang kelabu. Kepada embun yang senantiasa memberi rasa sejuk ketika pertama kubuka jendela kamarku tadi pagi. Kepada kamu, seseorang yang senantiasa setia menjaga segenap perasaan cinta dan kasihmu. Kukabarkan kepada semesta bahwa aku sedang menyimpan duka, rindu yang tak berbatas, cemburu yang telah berhasil menguras segala hal yang aku jaga dan menumpuk sesak segala hasrat bertemu denganmu.

Kepada yang tercinta. Yang sekarang sedang jauh dan terpisah jarak puluhan kilometer dengan saya. Kukabarkan padamu, bahwa aku tak sedang baik-baik saja. Aku sedang menumpuk segala rindu setelah pertemuan terakhir kita hari itu sepulang kuliah. Kamu tak sempt mencium keningku pun memelukku dengan hangat seperti biasanya. Entah karena apa, mungkin karena kamu sedang terburu-buru oleh kantuk yang menyiksa matamu atau apa aku pun tak tahu. Rasanya hari itu melihatmu berjalan menjauh dariku dan berlalu dengan motor yang dikendarai temanmu, berat sekali melihat itu. Sejak hari itu kita tak bertemu lagi. Aku rindu.

Kepada hari ini yang saya rasa berat sekali. Saya melihat matahari yang tetap memancarkan sinar megahnya dan membiaskannya melalui celah jendela kamar saya, saya tak peduli bagaimana matahari mencoba mengganggu tidur saya dan mimpi saya tentang kamu. Saya menutup muka saya dengan bantal dan selimut seadanya, Saya tak ingin melewati pagi ini. Saya ingin tidur dan mencoba menahan sesak yang sedang berkecamuk dalam hati saya. Tapi apa daya saya sebagai manusia biasa, matahari mampu menggelitik mata saya untuk terbuka, saya terbangun. Terimakasih matahari atas sinar megahmu yang telah menggelitik tidur lelapku.

Kepada siang yang sangat jalang dengan hawa panas dan debu kejam yang menempel dipermukaan wajahku yang tertiup angin. Saya ucapkan betapa siang sangat kejam dalam menjamah seluruh rindu yang kian memanas dalam hati saya. Saya mencoba meneriakkan rindu saya pada kamu dengan peluh yang saya tahan. Namun nampaknya kamu tetap tidak mengerti betapa saya sangat merindukanmu. Pada siang, saya ucapkan terimakasih atas segala perilaku kejam yang menghasilkan peluh dari panas yang tak tertahankan.

Kepada senja yang sejak tadi saya tunggu. Saya senang menyambut senja yang sore ini terlihat jingga merona. Saya senang menceritakan segala rindu saya kepada kamu yang tercinta. Kuharap senja ini mampu menggambarkan kebahagiaan serta kesedihan dalam menahan rindu ini pada kamu yang tercinta. Ku potong sedikit senja ini untuk ku berikan saat nanti bertemu padamu pada senin pagi. 

Surabaya, 16 Maret 2014
Untukmu yang tercinta.

Thursday 13 March 2014

Tahap Bersamamu

Saya percaya bahwa cinta tak mungkin datang begitu saja. Saya juga percaya bahwa cinta itu berproses. Proses melihat, merasakan dan memiliki. Ya, saya dan kamu juga begitu bukan?. Saya dan kamu memiliki beberapa tahap sebelum akhirnya kita saling memiliki. 

Tahap 1
Saya masih ingat, pada tahap ini saya masih bersikap acuh terhadapmu. Saya selalu tak memperdulikan keberadaanmu. Saya juga jarang bertatap muka denganmu. Saya masih biasa saja dan memang saya belum ada niat untuk melirikmu. Pada tahap ini juga saya masih asik lirik sana-sini semau saya. Saya masih asyik membicarakan cowok yang satu dengan yang lainnya bersama gerombolan perempuan yang sering kali saya sebut teman. Pada tahap ini saya belum mengenal siapa kamu.

Tahap 2
Saya juga ingat pada tahap ini saya mulai tertarik pada sosokmu yang sering sekali menjaili saya dengan cara apapun yang kamu miliki. Pada tahap ini saya mulai merasakan sebal dan terganggu dengan keberadaanmu. Saya mulai jarang mencari sosok lain selain sosokmu. Saya mulai mencari keberadaanmu. Saya juga mulai menaruh sedikit perhatian kepadamu. Pada tahap ini saya tertarik padamu.

Tahap 3
Yang paling saya ingat adalah tahap ini. Tahap dimana saya mulai merindukan tawamu, jahilmu, pekikan suaramu, matamu, hidungmu, bahkan  derap langkah kakimu. Saya mulai mencari-cari sedikit informasi tentangmu. Saya mulai belajar menyukai kesukaanmu, saya mulai suka ketika kamu menatap saya secara diam-diam dan saya juga mulai suka ketika usapan tangan besarmu menyentuh kepala saya dengan lembut. Saya mulai berani membayangkan kamu sebelum tidur. Saya mulai menyukaimu.

Tahap 4
Pada tahap ini saya dan kamu sudah mulai dekat bahkan lebih intens memberi kabar walau saat itu kita belum ada status yang jelas. Saya yakin pada saat itu pasti kamu juga sedang memantapkan hati untuk mengungkapkan. Begitu juga dengan saya, saya juga berusaha memantapkan segala perasaan yang sekarang terlihat nyata bahwa saya mulai menyayangi kamu.

Tahap 5
Saya dan kamu sudah bersama dalam satu ikatan atau apalah ini. Yang jelas saya dan kamu sudah saling berjanji bahwa saya dan kamu akan menjaga hati. Untuk yang tahap ini, saya benar-benar bahagia. 

Begitulah kira-kira tahap yang ada dalam siklus percintaan setiap manusia. Ya, saya yakin setiap orang mempunyai tahapan masing-masing.

Surabaya, 13 Maret 2014
Just Share ^^

Wednesday 12 March 2014

Entah.

Hujan
Hari ini sangatlah kejam
Hari ini sangatlah seram
Hari ini tak termaafkan

Hujan
Kau kembali membawaku kepada kedukaan
Kau kembali membawaku merasakan pahitnya kehidupan
Dengan segala kemunafikan

Entah teman atau bukan
Mereka semua amatlah jalang'
Menerkam apa yang mereka kira pantas untuk diterkam
Melahap habis segala benteng kesabaranku sebagai orang yang memiliki sedikit iman

Entah aku harus berkata apa
Ketika apa yang mereka bicarakan tetap memakan hati ini
Ketika apa yang mereka kritik tetap kuterima meski sakit
Kembali: aku sadar bahwa aku manusia punya hati yang perlu dimengerti