Hari ini tepat seminggu setelah ualang tahunku. Aku sungguh tidak menyangka bahwa aku akan melukai hatimu lagi. Aku selalu mencoba berfikir dua kali dalam bertindak. Tapi, hari ini aku tidak habis pikir atau memang pikiranku sudah habis? Entahlah. Aku membuatmu terluka kembali. Aku membuatmu kembali merasakan nyeri di ulu hati. Aku membuatmu bungkam lagi.
Jujur, aku bingung atas semua sikapmu tadi. Aku mencoba memilah lagi apa ada perbuatanku yang sangat menyakitimu hingga kau tega begini. Diam. Iya; kau memilih bungkam. Aku mencoba mengerti. Aku mencoba memahami kembali. Lamat-lamat sembari menulis catatan di buku kecilku, aku mengingat semua perbuatan yang aku lakukan di kampus tadi. Jika melihat dari apa yang kau posting dalam akun jejaring sosialmu, aku tahu bahwa kau sedang cemburu. Namun entah aku yang begitu bandel atau aku yang begitu terlalu hati-hati hingga aku menggoreskan luka lagi; di hatimu.
Senja telah datang menghampiri. Aku menatap jendela yang terdapat di sudut kamar kos ku. Aku melihat semburat cahaya kuning ke jinggaan menerobos mencoba mencar celah untuk masuk melalui jendela tersebut. Aku bangkit. Melihat ke luar kearah langit yang jingga. Perasaanku sungguh tak karuan. Andai sekarang kita tak saling diam. Andai sekarang kita tak berada da;am batas keegoisan. Aku ingin menceritakan betapa indah senja sore ini.
Lupakan masalah senja. Kini, malam yang kurasa kian membabat habis seluruh sum-sum dalam tulangku. Mencekik tenggorokanku yang bermasalah karena batuk berdahakku. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa padamu karena cemburumu padaku. Aku sungguh tak ingin kau diam seperti ini namun aku lebih tak ingin memulai pertengkaran lagi denganmu. Aku memilih diam, sama sepertimu. Aku mencoba mengoreksi kembali kesalahanku. Aku memandang lampu belajar di atas meja kamar kos ku. Tak sengaja kulihat sebuah lukisan tentang aku dan kamu (hadiah ulang tahunku kemarin darimu) bertengger kokoh di atas lampu belajarku. Senyuman itu; KITA.
Pertahananku mulai rapuh ketika ku lihat lukisan itu. Aku tersenyum. Air mata keluar dengan sendirinya tanpa aba-aba. Aku berucap dalam hati "Selamat malam sayang, betapa diammu adalah siksaan bagiku. Betapa aku begitu bodoh ketika aku menyakitimu. Betapa buruk aku ketika esok harus berada di hadapanmu dengan kesalahanku. Betapa aku yang tak tau diri ini berani berucap dan membatin dalam hati tentang diam kita". Tenyata aku telah sampai batas pertahananku untuk diam kepadamu namun sekali lagi aku tak ingin memulai pertengkaran denganmu.
Surabaya, 25 Maret 2014
"Untuk diammu dan diamku; diam KITA"