"Kau luluhkan hati yang beku, Kau sembuhkan hati terluka. Ikhlas kau lakukan untukku"
Itu adalah beberapa kata yang saya ingat ketika saya mendengarkan lagu yang dibawakan oleh penyanyi pendatang baru Maudy Ayunda ini. Awalnya memang saya tak begitu menggubris tentang lirik lagu dan nada dalam nyanyian tersebut. Namun beberapa kata itu tadi tiba-tiba masuk dan saya ingat hingga sampai pada tujuan saya. Iya, pagi ini saya sedang berjalan menuju sebuah tempat yang (dulu) ketika saya kecil saya sering bermain disini. Desa memang tempatnya, namun tempat ini jauh lebih indah dari apapun yang ada di bumi ini (yang pernah saya lihat).
Sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah yang mulai menguning karena ini memang sudah masuk pada musim panen sungguh pemnadangan yang menyejukkan mata. Jauh meninggalkan segala kegiatan yang begitu menguras tenaga. Jauh dari segala hal yang membuat penat ketika terhalang macet di tengah kota. Dan berbagai hal membosankan lainnya yang saya lakukan setiap hari.
Jalan yang bergelombang di penuhi dengan bebatuan cadas yang sungguh jika ban mobil ini bisa berteriak maka ia akan berteriak dengan sekat tenaganya. Namun bagiku ini sungguh sangat mengasyikkan. Segala hal yang ada di desa memang mengesankan.
Tiba pula aku pada sebuah bangunan (rumah) tua yang di pinggirnya masih terdapat beberapa bungan dan kentongan. Begitu tidak asing bagi saya ketika mengetuk pintu coklat rumah ini. Beberapa menit saya menunggu. Terdengan suara langkah kaki dengan terburu-buru membukakan pintu. Wanita tua yang masih kelihatan muda menyambut saya. Saya perkirakan wanita ini berumur sekitar 59 tahunan. Wanita ini menatap saya lekat, mungkin mencoba mengingat siapa saya. Saya mendekatkan wajah saya untuk mencium tangannya.
"Ibu, masih ingat saya?" semabri tersenyum padanya.
"Iya nduk, ibu ingat. Bunga kan? sekarang sudah dewasa ya. Ada apa nduk kesini?" tanyanya memburu.
"Endak buk, saya hanya kangen dengan tempat ini. Saya rindu dengan sampean dan bapak. Bapak mana?" Tanya saya.
"Ayo masuk dulu nduk" pinta ibu dengan sedikit perubahan wajahnya.
Saya mencoba mengingat isi rumah ini. Tak ada yang berubah. Yang lebih membuat saya terenyuh adalah masih ada gambar anak perempuan kecil yang mirip sekali dengan saya dan saya yakin jika itu memang saya. Begitu polos dengan foto tanpa warna itu. Saya menjadi teringat segala kenangan di sini. Pertama saya merajut mimpi. Pertama saya mengerti bagaimana mensyukuri hidup ini. Dan pertama saya mempunyai angan untuk kembali ke desa ini. Saya masih ingat dengan mimpi yang saya tulis pada sudut tembok rumah ini. Saya mencoba mencarinya. Saya menemukannya. Iya, pada susudt ruang tamu. Saya menuliskan "Saya ingin kembali ke desa ini saat usia sayan 19 tahun". Dan sekarang saya mampu untuk merealisasikannya.
Lihat, di sini tak ada doa dan harapan yang mengkikis karena pertumbuhan (usia).
Lidah Wetan, 2 September 2014