Tuesday 14 October 2014

Retaknya Cermin Itu


begini retaknya !

Kamu tentu tahu bagaimana mudahnya memecahkan cermin. Dipukul; ditendang; dilempar dengan batu; dipukul dengan kayu dan sebagainya. 

Berbeda dengan cerminku. Aku menjaganya, dengan sangat hati-hati. Aku membingkainya, seperti potret diriku waktu masih suci (bayi). Aku senantiasa memberishkannya, seperti aku ketika mandi dan bersuci. Segalanya kulalkukan dengan hati. Segalanya kulakukan dengan ikhlas diri. Tentu tanpa paksaan. 

Aku sengaja meletakkannya dekat dengan potret diri kita. Foto kita bersama, ketika kita berbagi senja berdua. Senyummu dan senyumku bercumbu jadi satu. Kebahagiaan tergambar jelas dibalik tatapan mata kita dalam potret itu. 

Tentu kau juga tahu bagaimana proses pemuain pada kaca, bukan?. Iya, sekarang cerminku mengalaminya.  Aku kebingungan. Harus kuapakan karena toh ini proses alam. Sungguh aku tak ingin menggantinya. Sedikitpun. Secuilpun. Bagaimanapun sudah lama aku menantikan dan akhirnya diberi kesempatan untuk menjaga cermin ini. 

Kali ini hampir dari separuh dari cermin ini retak. Padahal aku telah berusaha menjaganya. Merekatkan banyak selotip pada setiap bagiannya yang retak. Hingga kini seluruh bagian itu akan tertutup banyak selotip. Aku takut. Bagaimana jika cermin ini sudah tak bisa menampilkan wajahku. Bagaimana jika cermin ini berganti dengan yang baru?. Aku sungguh tak menginginkan hal ini terjadi. 

Karena aku sangat menyayangi cermin itu. Berapa banyak bagian pun yang retak, aku tetap tak ingin menggantinya. 

Surabaya, 14 Oktober 2014

Tuesday 30 September 2014

Berpagutan Dengan Malam


Kali ini apa yang akan kau cumbui
Kali ini dingin terhpus gigil
Kali ini aku bersembunyi di bawah sunyi
Tanpa kata; dengan makna

Kau mulai memagut
Lenganku menggelayut
Tubuhku kau timpuh
Beradu peluh

Kakiku mengepang di tengah kakimu
Tanganku melingkar di leher jenjangmu
 Tubuhku goyah; bergejolak dalam lantunan lenguhku
Kau merengkuh

Mencoba kembali menemui keesokannya
Mencoba kembali bercumbu pada dinginmu
Oh... Malam, kau begitu dahsyat
Menghadirkan kisah

Surabaya, 30 September 2014

Thursday 25 September 2014

Sepuluh bulan.

Seperti apa kau menafsir sepi?
Seperti dingin yang hilang dalam gigil
Seperti apa kau menafsir mimpi?
Seperti tawa yang ada ketika kau bangun pagi

Dan malam hanya bersetubuh dengan hening
Seperti lilin-lilin yang leleh dalam batang
Dan itu ketika kau belum bersamaku
Ketika aku tanpa hadirmu

Sepuluh bulan

Kini bagaimana kau menafsir rindu
Mungkin seperti empedu beraroma madu
Beradu,
Kalah
Dan lelah
Lelah; saat gelisah dalam rebah

Sepuluh bulan itu

Kini bagaimana kau menaruhkan hidupmu
Ketika aku telah terbiasa dengan hadirmu
Ketika aku tak mampu melepas gandengan tanganmu
Aku telah satu denganmu

Sepuluh bulan itu, kini,nanti dan selamanya
Berjanjilah,tak akan melepas gandengan tanganku

Surabaya, 26 September 2014
"Sepuluh bulan itu"







Wednesday 24 September 2014

SAYA JENGAH !

Ini semester terberat selama saya kuliah. Entah, karena apa dan siapa. Bukan tentang hilangnya penyemangat. Bukan pula tentang uang kuliah yang harus saya bayar tiap semesternya. Ini tentang metamorfosa mental yang biasa saya gadang-gadangkan dan saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya.

Ini juga hal yang cukup membingungkan dalam perjalanan akademik saya. Bukan tentang IPK yang turun. Bukan tentang kurang aktifnya saya di kelas. Bukan. Sekali lagi ini tentang metamorfosa mental yang sedang saya alami.

Saya menyerah. Bukan pula karena saya terlalu payah. Namun saya sudah jengah. Saya lelah. Harus berjalan pada satu garis lurus yang ditentukan oleh yang maha "pengurus". Saya ingin jalan saya sendiri. Sudah saya coba untuk mengintrospeksi diri saya sendiri. Mendiamkan diri pada kungkungan emosi yang membebani. 

Ternyata tetap salah juga. Kesini salah, kesana juga salah. Berhenti salah, berjalan lebih salah. Tersenyum aku jengah, cemberut jadi masalah. Apalah, entahlah. SAYA JENGAH !

Surabaya, 25 September 2014
Sedang dalam proses metamorfosa mental

Monday 22 September 2014

Halo Kamar Mandi

Sebagai manusia tidak banyak yang saya tahu. Iya. Ini salah satunya, saya tidak mengetahui apa yang saya inginkan sekarang. Saya bukan orang yang pandai berterus terang kepada siapapun. Saya bukan orang yang terbuka dengan keadaan saya sebenarnya. Bagaimana tidak, ketika saya ingin sekali terbuka dengan orang yang menurut saya bisa dipercaya. Saya justru mengatahui busuknya. 
 
Seperti hari ini, saya enggan sekali membuka mulut. Lebih banyak diam. Memilih mendengarkan pembicaraan. Saya mungkin telah kehilangan sebagian dari sejatinya saya. Ini mungkin yang dinamakan metamorfosa mental. Sungguh, rasanya tidak pernah seperti ini saya sebelumnya.

Segala hal yang membingungkan telah menimpa saya. Mengoyak dan membabat habis pikran saya. Ini belum pernah terjadi dengan saya (sebelumnya). Saya merasa jatuh tersungkur lalu bangkit lagi, jatuh lagi dan bangkit lagi. Begitu seterusnya. Saya pusing.

Belum lagi tentang masalah hidung saya. Yang akhir-akhir ini sering sekali mengeluarkan darah yang entah darimana dan apa penyebabnya. Dokter bilang saya hanya kelelahan. Namun lelah yang bagimana yang membuat saya amat sangat ringkih seperti ini. Bukankah jika manusia yang lelah, istirahatlah obatnya?. Ini tidak demikian dengan hidung saya. Entahlah.

Darah itu keluar lagi siang ini. Tepat ketika kaki kanan saya menginjak ubin di kamar kos saya. Segera saya berlalri menuju kamar mandi yang tepat berada di depan saya. Segera saya tundukkan kepala. Mencoba 'meladeni' cairan berwarna merah kehitaman tersebut. Sungguh, airmata mana lagi yang harus saya keluarkan untuk menangisi ini. Sementara disini, saya hanya sendiri. Saya membutuhkan pundak atau setidaknya lengan untuk membantu saya mengusap cairan itu.
 
Bukan hanya sekali saya menyapa kamar mandi ini. Ini sudah ketiga kalinya. Saya lelah. Saya selalu mengucapkan "Halo Kamar Mandi" dalam hati ketika saya menyinggahkan kaki saya kembali kesini lagi dalam rentan waktu yang tidak cukup lama.
 
Tuhan, saya lelah. Bukan maksud saya ingin menyerah. Namun ini semua dikarenakan saya terlalu payah. Iya; saya tak mampu menggubah. 
 
Surabaya, 22 September 2014
"Halo Kamar Mandi
"

Saturday 20 September 2014

Menciumi Senja

Genggaman itu. Abadi sepanjang waktu.
Sudah pernah terjadi sebelumnya. Menciumi senja berdua. Denganmu saja. Merengkuh asa dalam balutan nirwana yang sedang menggelora dalam dua jiwa. Sore ini terjadi lagi. Aku menemukan kehangatannya lagi. Bukan tentang bara api yang membakar. Bukan tentang es batu yang membekukan. Tapi tentang berbagi senja yang menjingga. Berdua.

Kamu datang tanpa memberitahuku. Kamu datang dengan muka menggemaskan. Rasanya ingin sekali kupeluk segera. Namun fikiranku masih 'waras'. Aku sadar ini bukan tempatnya.Ini sudahpukul setengah 5 sore. Kita masih duduk berhadapan di bangku depan kosku. 

"Ke danau yuk". katamu tiba-tiba.

Aku mengangguk. Langsung kusetujui pintamu. Aku bergegas mengganti pakaianku. Lebih rapi dan pantas sekarang. Kita menendari sepeda motor menuju ke sebuah tempat yang biasa saja sebenarnya. Bahkan tak ada yang istimewa dari tempat itu. Iya; jika aku mendatanginya sendiri. Tanpamu. Namun ini berbeda. Tempat itu terasa amat sangat megah dengan segala hal yang mengitarinya. Segala hal yang berada disana. Namun, bukan semua hal itu yang membuatku menyukai tempat ini. Ini semua karena kau. Iya, kau memang selalu menunjukkan betap indahnya bersyukur atas kenikmatan apapun yang telah diberikan oleh Tuhan pada tempat manapun. Tak terkecuali danau ini.

Menunggu senja bukan hal aneh lagi bagi kau dan aku. Bagi kita inilah satu-satunya hal yang membuat kita rela berada di tempat itu lebih lama.

"Lihat! Bagus ya. Sayangnya kita tidak dapat memotretnya sekarang" Kataku sembari menunjuk bundaran kuning keoranyean yang indah itu. Dengan mengamit sebelah lenganmu. Kau berikan belaian lembut di kepalaku.
"Mungkin lain kali bisa kita mengambil potretnya, sayang" Katamu menenangkan.

Aku tersenyum kecil padamu. Bergelut manja di sebelah lenganmu. Kita berjalan menyusuri tempat itu. Mengumbar tawa. Melalui canda kuhaturkan segenap rasa nyaman dan amanku padamu. Setelah kita merasa lelah sembari senja juga lelah dan tenggelam. Aku dan kau pun memilih bersandar. Duduk di tepian. Saling menggenggam. Saling beradu pandang.

"Aku mencintaimu" Katamu seperti biasanya. Genggamanku masih belum terlepas.
"Aku juga sangat mencintaimu." Jawabku dengan semburat malu.

Lagi-lagi kau mengusap lembut kepalaku. Entah kenapa, aku merasa sangat nyaman ketika tanganmu bergerak lembut seperti itu. Dan lagi. Aku menggenggam erat tanganmu. Semakin erat. Semakin dekat. Aku mendapatkannya lagi. Beradu tatap tak lupa beradu hasrat. Nikmat.Hangat senja sore tadi.

Surabaya, 21 September 2014
Mneciumi Senja.

Thursday 18 September 2014

Bukan. Mentalku sedang bermetamorfosa.

Ini tentang rasa, asa dan apapun yang menggerahkan. Bukan. Bukan tentang masalah percintaanku dengan kekasihku. Bukan pula dengan masalah cinta kepada orang tuaku. Segalanya baik-baik saja. Iya; baik-baik saja.

Tampak sekali pagi itu. Aku mengenakan rok hitam dan kaos hijau. Iya. Kalian tentu tahu bahwa aku akan berangkat ke kampus tercintaku. Pernah tidak kalian merasakan ada yang janggal pada aku?. Ah mungkin tidak. Aku hanya kaum minoritas. Aku kaum tak tercium sekalipun berliter minyak wangi yang aku pakai. Entahlah. Pagi ini aku tak seceria biasanya. Aku tak seheboh seperti biasa juga. Aku tak pernah tahu apa yang menyebabkan aku begini. Sungguh. Aku merasa kecil. Aku merasa malu. Aku merasa tak berarti apapun.

Nyaliku menciut. Senyumku tersangkut pada awang-awang keraguan. Suaraku memelan, lirih. Aku malas sekali berpura-pura. Aku juga malas sekali untuk menyunggingkan senyumku pada siapapun tak terkecuali. Sedikitpun. 

Kalian pasti ingat betapa aku sangat berbeda hari itu. Aku tak secerah baju yang aku pakai. Aku tak semeriah apa yang aku bawa dalam tasku. Bolpoin. Pensil. Penggaris. Dan alat-alat menulis lainnya. Aku tak seberwarna pensil waran yang kemana saja aku bawa. Ini bukan aku, sungguh. Ini bukan diriku. Aku kehilangan senyumku. Aku merasa sedih. Ingin menangis. Namun tetap kuperlihatkan wajah 'baik-baik saja' ku pada siapapun yang ada didekatku dan menyapaku. Tak terkecuali, kalian semua.

Sungguh, jika saja aku boleh berteriak maka aku akan berteriak sebisaku. Jika saja bunyi kelas musik tak semeriah itu maka suaraku yang akan menjadi gantinya. Hilang. Nyatanya segalanya berubah menjadi senyap. Aku diam. Merasa tersisihkan. Mungkin karena aku sendiri. Entahlah. Betapa aku lebih memilih begini. Menutupi segala sedihku. Melihat kebahagiaan yang (mungkin) saja aku bisa raih sekarang. Namun aku memilih menyisihkannya. Aku memilih tak menghiraukannya. Aku memilih diam. Mentalku tergoyahkan. Aku ingin pergi. Entah pergi kemanapun yang aku suka. Tanpa keterpura-puraan, tanpa keterpaksaan, tanpa apapun yang membebani hatiku dan juga rasaku.

Aku ...
Sudah tak kudapat lagi kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku. Aku ingin menangis sekencangku. Aku tak dapat lagi tersenyum. Segalanya menyesakkan. Terkoyak dalam bentuk seperti apa mentalku saat ini. Entah. Perih. 

Ibu ...
Aku ingin menemuimu. Memohon perlindunganmu. Meminta pelukmu. Menghempaskan segala tangisku pada pundak lembutmu. Dalam hal apapun ternyata hanya kau yang mengertiku. Aku ingin bertemu,bu. Anakmu tak sedang baik-baik saja. Aku merasa sendirian. Jika saja kekasihku tak disini, aku tak akan sekuat ini, bu. 

Sudah cukup segalanya kucurahkan. Karena kalian tahu tak akan ada kata yang tepat untuk membuatku lega. Terimakasih segalanya. Ini suatu pelajaran.

Surabaya, 18 September 2014
'melegakan hati pada tempat yang tersembunyi'