Sunday 29 June 2014

Untuk Kau.

Untuk waktu, yang kurindukan
30 Juni 2014.

Yang temaram itu cahaya lilin, sayang
Yang meneduhkan itu terpaan angin, sayang
Yang melegakan itu aliran air di tenggorokan, sayang
Yang mampu menghujani berkah adalah bulan ramadhan, sayang

Sayangnya...
Aku tak mampu melihatmu sekarang
Aku terpisah jarak dan waktu denganmu sekarang
Aku semakin merindumu sekarang

Jika jarak tak membentang
Jika waktu tak membedakan
Aku ingin kau segera datang
Membawa keberkahan layaknya bulan ramadhan

Bukan dengan kejutan besar
Hanya dengan senyum ketulusan
Bukan dengan tatapan nanar
Hanya dengan rona kebahagiaan

Selalu ada doa untuk engkau yang kurindukan.

Kediri, Akhir Bulan Juni 2014

Thursday 26 June 2014

Temaram.

Malam ini lampu dirumahku padam. Iya. Memang sedang ada pemadaman listrik di sekitar wilayah rumahku. Ya. Ibuku sudah mondar-mandir kesana kemari untuk menyalakan lilin. Aku hanya diam di pojokkan ruang keluar sembari melihat ibu sedang menaruh beberapa lilin disana. Aku bertanya pada ibu yang saat itu sedang menyulut api pada sebuah lilin di dekat televisi.

"Bu, jika lilin itu leleh. Apakah apinya akan segera padam?" tanyaku menerawang.

Ibu hanya tersenyum melihatku. Aku melihat senyuman tulus seorang ibu dibawah gelapnya malam diterangi cahaya lilin yang temaram. Ibu tak menjawab pertanyaanku. Mungkin ibu tahu, aku bertanya pada ibu hanya untuk mengurangi rasa takutku. Ibu kembali menyulutkan api pada sebuah lilin yang ada di sebelah fotoku pada waktu kecil. Aku melihat wajahku saat itu, padanganku nanar. Betapa dulu aku tak merasa punya beban saat hrus tertawa di depan kamera yang pada waktu itu Ayahku sendirilah yang memotonya. 

Akhirnya ibu selesai menyulut api pada lilin. Sekarang beliau duduk di sofa yang ada di depan televisi. Ibu menggebuk-gebukkan tangannya di sofa sembari berkata;

"Duduk sini, jangan disitu. Adem nduk." Ucapnya dengan logat Jawa yang kental.

Aku menurut saja dengan perintahnya. Aku duduk disamping ibu. Kusandarkan keplaku pada bahu terkuat yang selalu menopangku. Iya; bahu Ibu.

"Ibu, apakah aku kelak akan mendapatkan lelaki yang se-setia Ayah, bu? " Tanyaku tiba-tiba.

"Ya kalau kamu baik, kamu pasti akan mendapakan lelaki yang setimpal dengan kebaikanmu, nduk" jawab ibu sembari mengelus rambutku.

"Bu, jika kekasihku sekarang tak sebaik Ayah? Apakah engkau akan tetap menyukainya , bu?"

"Ibu hanya akan menyukainya jika kamu juga menyayanginya, nduk. Ibu yakin kamu dan kekasihmu akan terus saling memperjuangkan dalam kebaikan." Ucap ibu lirih, menguatkan.

Aku memeluk Ibu. Jika memang Ibu sudah mengatakan seperti itu. Aku sudah tak ragu jika melangkah bersamamu. Untuk kamu yang sekarang bersamaku. Kamu lelakiku. Bejanjilah, jika kamu tak akan menyakitiku dalam bentuk apapun; perasaan maupun perbuatan. Berjanjilah, untuk tetap berpeluk denganku; dalam suka maupun duka. Berjanjilah untuk selalu menjadi pahlawanku. Bukan hanya untuk 7 bulan kebelakang. Namun juga untuk bulan dan tahun kedepan. Aku mohon, berjanjilah...


Kediri, 27 Juni 2014


Monday 9 June 2014

Jika Harus Berakhir Disini...

Ini kesalahan terbesarku. Menyembunyikan sesuatu yang pada akhirnya kau tahu. Ini jalan yang sulit untukku. Jika harus meninggalkanmu, aku merasa tak mampu. Namun, jika aku harus bertahan denganmu, aku takut semakin menyakitimu. Aku tahu, bahwa aku tak lebih menenangkan dari alkohol yang (aku percaya) saat ini sedang kau tenggak perlahan.

Ya jelas aku tak menenangkan. Toh, ini semua karenaku. Jika harus berhenti di sini, aku tak pernah tahu akan jadi apa aku nanti tanpamu, tanpa pelukmu, tanpa gandengan tanganmu. Jika harus berhenti di sini aku mersa tak sanggup jika harus membopong segala impian di masa depan yang telah aku susun rapi bersamamu.

Aku tahu, kamu pasti akan menganggap semua omonganku adalah hanya omong kosong semata. Tak dapat dipercaya. Jika aku di posisimu, aku akan seperti itu. Mungkin lebih dari apa yang kau lakukan padaku sekarang. Bukan hanya aku, mungkin kau sekarang juga sedang berusaha menempatkan dan menenangkan hati pada satu sudut yang tepat. Tanpa tedeng aling-aling sesungguhnya aku hanya ingin bersamamu saat ini. Aku ingin melihat bagaimana aku bisa menyakiti seseorang sebaik kamu. Bagaimana aku dengan bodohnya bisa melakukan hal sejahat itu kepada kamu; tercintaku.

Maaf. Jika tak mampu kutebus dengan maaf. Maka ijinkanlah aku membasuh perlahan luka yang aku gores dengan tajam. Maka setelah luka itu terlihat lebih baik, maka ijinkanlah aku merawatnya hingga sembuh. Akan kujaga dan tak akan kugores lagi. Aku berjanji. 

Jika harus berakhir di sini. Aku ingin sedikit senyum tulusmu mewarnai langkahku ke depan.Aku ingin berpeluk denganmu untuk menjadi kekuatanku menopang mimpi bersama. Serta menikmati secuil bibirmu untuk menjadi ketenangan yang paling damai.


Surabaya, 9 Juni 2014
"Jika harus berakhir di sini
aku tak ingin sendiri 
melangkah menuju masa depan 
dengan kau yang aku kasihi"

Friday 6 June 2014

Sebuah rasa yang lebih dari sekedar rasa...

Bukan hanya sekedar rasa yang saya miliki untuk sebuah rasa. Bukan hanya sekedar rasa yang saya miliki untuk sebuah rasa yang sedang membuncah saat ini. Bagaimana jika rasa memang sudah menjadi lebih dari rasa? Entah, aku akan menyebutnya apa. Entah ini akan lebih pantas disebut apa. Saya bukan seseorang yang pandai  berkata tentang apa yang saya rasakan. Saya bukan seseorang yang pandai merasakan sesuatu dan menghilangkannya begitu saja. Terlebih ketika rasa ini telah memilihmu. Aku sudah tak mampu menyebutnya ini rasa apa. Bagaimana. Daarimana dan mengapa. Seglanya berjalan begitu saja. Segalanya telah termaktub teramat dalam karenamu.

Bukan hanya sekedar rasa. Entah aku menyebutnya apa. Aku selalu membayangkan bagaimana jika aku dan kamu telah menjadi satu. Aku selalu membayangkan hal0hal indah bersamamu. Aku selalu merangkai masa depan denganmu, kamu. Iya; kamulah tokoh utama dalam alur perjalanan hidup saya. Kamu sudah lebih dari sekedr kekasih. Kamu sudah jadi, pendamping hidup. Pelengkap hidup. Tempat bergantung, tempat berbagi, tempat menyandarkan segala hal yang melelahkan. Kamu; bahagia dan sedihku.

Betapa tak henti aku mengucap syukur pada-Nya. Ketika sujud dalam sepertiga malamku. Namamu selalu ada dalam daftar barisan orang yang aku doakan. Betapa segalanya telah menjadi apa-apa tentang kamu. Kamu; sempurnaku.


SURABAYA. 7 JUNI 2014
"Menunggu kepulanganmu"

Wednesday 4 June 2014

Rindu.

Percaya atau tidak? Jika cinta itu selalu membutuhkan airmata. Entah itu airmata kebahagiaan atau airmata kesedihan. Ya; saya percaya dengan itu. Umpamakan saja jika sebuah pelangi muncul tanpa hujan?. Tidak mungkin, bukan?. Pelangi selalu membutuhkan hujan ketika dia kan muncul. Sma seperti cinta, dia selalu membutuhkan airmata sebelum bahagia. 

Tentang airmata yang saya paparkan di atas. Saya sedang bersamanya sekarang. Saya telah ditemaninya selama beberapa hari ini. Mungkin bukan beberapa hari namun sejak saya dan kamu terpisah beberapa jam saja, saya telah ditemani oleh airmata. Saya lebih tidak bisa berbohong lewat tindakan daripada ucapan. Saya mampu berkata bahwa saya baik-baik saja. Tapi airmata saya membongkar semuanya, saya tidak baik-baik saja.

Kamu. Sudah sekitar 6 hari ini saya tak bertatap langsung denganmu. Saya tak mampu menjamah tubuhmu. Saya tak bisa melihat indah lingkar senyummu. Saya telah bersama rindu yang kau kirim untuk menemaniku. Bukan saja airmata, saya kadang tertawa geli mendengar rekaman suara kita. Betapa suaramu selalu menenangkan. Betapa suaramu selalu menjadi obat paling manjur yang saya andalkan. Betapa tak pernah ada suara seindah suaramu.

Saya menangis kembali tadi malam. Jujur saja, saya sudah tidak mampu menyembunyikan rasa rindu saya padamu. Saya sudah tak mampu menahan gempuran rasa ingin bertemu denganmu. Saya menghitung hari, sudah seperti orang gila saja jika setiap hari saya berdoa semoga hari-hari yang ada cepat berlalu. Agar saya segera bertemu denganmu. 

Seandainya, sang waktu dapat mengerti.

Kediri, 5 Juni 2014.

Monday 2 June 2014

Merindu Purnama


Ini hari ketiga aku tak bertemu denganmu. Rinduku semakin menggebu diiringi mendung kelabu di kota kelahiranku. Purnama merah jambu kini tersungkur lesu. Purnamaku. Kamu. Aku pulang kemarin, hari minggu 1 Juni 2104. Menaiki bus patas jurusan Surabaya-Blitar yang memang melewati kota kelahiranku, Kediri. Aku sebenarnya enggan beranjak dari rumah kos ku karena aku fikir ini hanya libur seminggu. Aku paling malas jika harus bolak balik Kediri-Surabaya. Namun, apalah daya seorang anak semata wayang seperti aku. Iya; ibuku. Beliau memaintaku pulang. Kangen katanya. Yasudah, sebagai anak yang cenderung luluh ketika mendengar rajukan ibu, aku memutuskan pulang.

Pagi hari. Minggu pagi, kamu masih sempat meneleponku dari rumah tempat tinggalmu. Iya, kamu pulang terlebih dahulu daripada aku. Aku masih mendengar suara beratmu lewat sambungan telefonku. Iya; aku sudah rindu pada saat itu. Entah kamu tahu atau tidak. Aku yakin kamu merasakannya. Aku berpamitan padamu, aku memintan izin untuk pulang. Kamu tak menjawab smsku. Aku fikir, kamu sedang tertidur lagi. Namun, lewat akun jejaring sosialmu kamu menulis kalimat ini :

"Hati-hati di jalan sayang :) Tuhan bersamamu, cintaku juga :D" .

Betapa senang aku ketika aku membaca kalimat itu. Aku emmang telat membacanya. Aku baru sempat membukanya ketika baru 5 menit aku merebahkan tubuhku di atas kasur empuk berbalut sprei pink kesayanganku. Segera aku membalas tweetmu itu. Begini :

"Terimakasih sayang, aku sudah sampai rumah dengan cantik kok :D"

Aku telah sampai pada hari ketiga. Iya; hari ini. Aku merindukanmu mungkin lebih dari sekedar merindu. Sungguh, jika saja jarak puluhan kilometer ini dapat aku lipat hanya untuk sekedar bertemu. Ah~ itu bukan harapan yang muluk kan menurutku. Aku hanya ingin bertemu. Memelukmu. Purnamaku.

KEDIRI. 2 JUNI 2014